Di usia yang idealnya sedang dalam masa-masa produktif ini, saya sering sekali merasa sepi. Sejak bangun sampai tidur lagi selalu saja ada yang kurang. Saya mulai menerka-nerka hingga tiba pada satu kesimpulan: kebersamaan dengan orang-orang terdekat mulai tereduksi.
Saya ingat, ketika saya ada waktu luang, orang yang ingin saya temui sedang sibuk. Sebaliknya, saat ada yang minta ketemu, giliran saya berhalangan dan tidak dapat menyanggupi. Itu sudah bukan hal yang asing lagi.
Meskipun tidak jarang sendirian, semakin ke sini saya seperti dipaksa untuk bisa menolerir ketidakhadiran, bahkan dengan orang-orang yang biasanya bertemu hampir setiap hari. Paham, bahwa mereka juga punya hidup yang harus disiapkan. Mereka sedang menyusun daftar prioritas yang mungkin menempatkan saya di urutan ke sekian atau bahkan tidak ada sama sekali.
Sampai akhirnya saya belajar untuk merasa cukup dengan satu-dua kali bertukar kabar lewat sosial media. Saya bersyukur masih bisa berbagi cerita melalui pesan-pesan walau sudah lama tidak bertemu langsung. Masih ada yang bersedia membantu saat ada masalah meski lewat telepon. Selama komunikasi itu tidak hilang, mungkin tidak masalah kalau mereka tidak hadir secara fisik, saya tahu mereka selalu ada. Walaupun saya tidak yakin bisa bertahan lebih lama lagi dengan keadaan ini.
Namun, mungkin dengan begini, saya bisa belajar untuk lebih menghargai waktu-waktu yang disempatkan. Sebagaimana saya menggunakan waktu sebaik mungkin, waktu mereka juga adalah hal berharga yang tidak akan bisa saya ganti, bahkan untuk sekadar membalas pesan hingga merencanakan pertemuan-pertemuan.
Ternyata, adalah wajar merasa sepi. Masing-masing kita sedang menempa diri. Semoga, untuk satu sama lain, jadi lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment