5/3/19

Kuantar Ke Gerbang

Dulu saya tidak begitu menaruh perhatian pada Soekarno. Saya hanya mengenalnya melalui buku-buku teks sejarah di sekolah. Seorang Bapak Negara, proklamator kemerdekaan Indonesia, pencetus konsep Pancasila sebagai dasar negara--begitulah yang disebutkan di sana. Selebihnya, saya mendengar desas-desus. Perbincangan yang sering terjadi adalah mengenai hubungan asmaranya yang tidak selalu berjalan mulus dan menciptakan kesan negatif di antara perempuan. Itu saja. Tidak mengenal keluarganya, tidak berusaha untuk tahu perjuangannya lebih jauh dalam upaya membebaskan bangsa ini dari penjajahan.

Sampai saya bertemu seorang teman yang menanamkan Soekarno dalam dirinya. Pemuda yang berani dan nasionalis, geram pada tindakan sewenang-wenang, selalu mampu dengan lantang menyuarakan pikirannya. Saya diajak untuk menjelajahi petualangan dan cara berpikir Soekarno, bahkan diberinya saya buku ini. Rasa penasaran membuat saya tergerak untuk membaca karena ingin mengetahui lebih jauh sisi lain perjalanan hidup Sang Proklamator.


Ramadhan K. H. menghubungkan saya pada Inggit Garnasih. Diam-diam membuktikan kebenaran pepatah usang bahwa di balik pria yang hebat ada perempuan yang kuat. S. I. Poeradisastra bahkan menyebutkan ungkapan bahwa separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam "Bank Jasa Nasional Indonesia". Setelah membaca buku ini, bagi saya itu tidak berlebihan.

Dalam pelajaran Sejarah, saya tahu istri Soekarno adalah Fatmawati. Belum pernah saya menemukan Inggit hingga membaca ini. Ia rupanya sosok yang tidak begitu dikenal, namun ternyata berperan besar dalam melahirkan bangsa ini. Pendampingan Inggit terhadap Soekarno seharusnya tidak boleh terlewatkan, sebab di balik semua perjuangan dan pergerakan Soekarno ada seorang wanita yang memancarkan kesetiaan dan kasihnya dengan pengorbanan. Ibu Ida Ayu Nyoman Rai mengandung dan melahirkan Soekarno, Bapak Soekemi Sosrodiharjo membesarkan dan mendidiknya, dan dalam kasih sayang Inggit-lah Soekarno menjadi seorang pemimpin.

Inggit Garnasih menjadi istri, teman, dan seorang ibu yang mengemong Soekarno. Inggit mendampingi Soekarno dalam masa-masa sulit. Fokus pertamanya ialah membantu Soekarno menyelesaikan studi di sela-sela kesibukannya dalam pembentukan Partai Nasional Indonesia. Aktivitas politik dan studi yang padat seringkali membuat Soekarno hilang arah, maka Inggit senantiasa hadir sebagai kawan sekaligus ibu bagi Soekarno muda.

Saya bisa mengatakan bahwa pendampingan Inggit tidaklah main-main. Keadaan politik saat itu yang mencurigai setiap pergerakan nasional menyebabkan Soekarno dan kawan-kawan berkali-kali ditahan dan diadili. Namun, tidak sedetik pun Inggit Garnasih berpikir untuk pergi.

Tersentuh dan terharu, saya membaca sudut pandang Inggit. Terbakar oleh semangat dan amarah, ketika dihadapkan pada narasi perjuangan petinggi-petinggi negeri menuju kemerdekaan. Saya seakan-akan ikut menjadi saksi senangnya hati Ibu Inggit saat Soekarno menemui pencapaian-pencapaiannya, kegelisahannya saat Soekarno dijebloskan dalam penjara, dan hancur hatinya saat Soekarno hendak berpisah.

Soekarno benar unggul dalam pemikiran, di depan podium, dan di tulisan-tulisan, tapi fakta yang tidak dapat ia pungkiri adalah adanya kehadiran sosok yang mengasihinya dan selalu mendukungnya. Cinta Inggit pada negeri ini terwakili dalam cintanya pada Soekarno. Saya mengagumi ketangguhan Inggit yang ikhlas dan berpengharapan.

Cinta yang baik ialah yang saling memberi kebaikan, maka pemikiran Inggit pun banyak terpengaruh oleh Soekarno yang gemar sekali membaca. Inggit mengakui bahwa kadangkala ia merasa rendah diri ketika berhadapan dengan Soekarno, sebab Soekarno sangat cerdas. Ia menulis apa yang diajarkan Soekarno padanya, yang kini juga menjadi salah satu pegangan saya.

"Kau harus punya karakter, harus punya kepribadian, harus punya corak sendiri.
Jangan sekali-kali kau seperti pohon cemara yang tertiup angin barat ikut ke barat,
tertiup angin timur ikut ke timur."

Meskipun Ramadhan K. H. merumuskan buku ini sebagai roman dan bukan tulisan sejarah, bercerita tentang Inggit tidak akan lepas dari kehidupan bersama Soekarno dan sejarah perjuangan bangsa ini untuk mencapai Indonesia merdeka. Maka di dalamnya terbentang berbagai peristiwa dan isu-isu sejarah. Saya merasa lebih dekat dan mengagumi Soekarno melalui narasi pemikiran dan strategi perjuangan, pandangannya terhadap dunia Islam, kegemarannya melukis, betapa ia dicintai dan menjadi panutan, sisi lain dirinya yang amat romantis dan lembut jika dihadapkan pada wanita yang dikasihinya, hingga bagaimana ia melatih anak angkatnya untuk mampu berpidato seperti dirinya. Julukan "Singa Podium" bagi Soekarno sepertinya sangat tepat untuk menunjukkan bagaimana ia menyuarakan pikiran dalam menggerakkan banyak orang.

Salah satu yang menggetarkan saya adalah naskah pembelaan Soekarno ketika ditahan yang termuat dalam buku ini, Indonesia Menggugat, dibacakan di muka pengadilan Landraad Bandung tahun 1930. Tidak mengajukan hal-hal yang meringankan, tidak memberikan alasan yang mengentengkan kesalahan. Hanya upaya untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak bersalah.


"...Tiga ratus tahun, ya, walau seribu tahun pun tidaklah bisa menghilangkan hak Negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu. Untuk terlaksananya hak ini, maka kami rela menderita segala kepahitan yang dituntut oleh Tanah Air itu, rela menderita kesengsaraan yang diminta oleh Ibu Indonesia itu setiap waktu..."

Seperti sub judulnya, "Kuantar ke Gerbang", saya sudah menebak ke mana kisah ini bermuara, tapi ternyata saya tetap tidak siap ketika tiba di sana. Setelah Inggit mengantarkan Soekarno tiba di gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah mereka, karena Inggit berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginan Soekarno. Dengan ini Inggit menunjukkan integritasnya. Ia tidak ingin dimadu. Meminta diceraikan alih-alih sebagai istri tua. Baginya, itu harga mati, sekalipun menyesak dalam dadanya.

Buku ini bagai karya patung kecil dengan citra Inggit Garnasih dan Soekarno. Keduanya berdiri tegak di sudut hati bangsanya.

No comments:

Post a Comment