5/4/19

Diam


Seperti malam-malam sebelumnya, Mama menghampiri saya ke kamar. Tidak butuh waktu lima menit untuk menunggu adik dan tante saya bergabung. Tante Mita mengeluhkan rekan kerjanya yang kekanakan, tidak diajak makan siang saja membuatnya mencak-mencak di Facebook. Adik saya, yang sedang mengisi liburan dengan kerja part-time di sebuah kafe, menumpahkan kekesalan terhadap karyawan baru yang sering memutar musik keras-keras padahal selera musiknya amat buruk. Gak tahu, deh, itu lagu siapa, ia mendengus. Saya menimpali dengan kelakar, sedang tidak punya cerita menarik untuk dibagi. Mama hanya tersenyum menanggapi kehebohan kami.

Saya mulai merasa ada yang aneh. Tidak seperti biasanya Mama tidak berkomentar apa-apa, setidaknya ia selalu menegur saya jika mulai terpingkal dan sulit berhenti, jangan berlebihan, katanya. Tanda tanya di kepala saya bertambah ketika memerhatikan Mama menggunakan kacamata di rumah, saya tahu ia paling benci. Sudah cukup di kantor saja, jawabnya bila ditanya, jika di rumah ia ingin matanya istirahat. Saya terhenyak ketika menyadari itu adalah upaya menutupi mata yang sembab.

Selain membantu melihat, kacamata kerap kali membuat kita tidak terlihat. Teman yang bisa diandalkan untuk membantu bersembunyi dari sedih yang paling sendu.

Saya seperti melihat diri saya sendiri.

"Mama habis nangis?" Saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Tidak perlu basa-basi, saya tidak pernah pandai.

Mama menggeleng. Malah bertanya kabar skripsi. Mencoba membawa percakapan hingga saya seolah tidak peduli dengan pertanyaan tadi.

Berselang beberapa waktu ketika ia akhirnya menyerah. Ditariknya bantal saya untuk rebah. Hanya dengan komunikasi mata, adik saya bergerak untuk membuat teh hangat dengan gula setengah sendok teh yang menjadi kesukaan Mama. Tante Mita meraih handphone dan menyibukkan diri, saya yakin ia tahu apa yang terjadi.

Napas Mama terdengar berat di telinga, belum juga berkata apa-apa. Saya tidak memaksa. Orang dewasa suka sekali membohongi diri, padahal saya tahu pasti ia hampir hilang kendali. Tidak ingin pertahanannya hancur, tapi punya keinginan besar untuk kabur. Langkahnya terseok tapi tidak akan membiarkan yang dilindunginya rusak dan tidak lagi elok.

Tuhan, saya tidak minta apa-apa. Hanya ingin ia Kau jaga.

No comments:

Post a Comment