Selama dua puluh satu tahun bergerilya dalam kehidupan yang fana ini, saya merasa 2018 telah menjadi kawan terbaik yang mengantar saya dalam mengeksplorasi diri. Dihadapkan pada berbagai situasi yang sering kali berada di luar kendali membuat saya selalu membangun pertahanan diri yang tangguh, meskipun pada akhirnya dengan berat hati harus mengakui, bahwa saya juga memiliki sisi yang rapuh dan ingin direngkuh.
Saya merasa telah bertransformasi menjadi penggembala domba dalam The Alchemist: melakukan perjalanan untuk menemukan. Saya dipaksa untuk keluar dari zona nyaman untuk memberi rasa aman pada orang lain, yang lalu saya sadari, ternyata juga memberikan saya ketenangan. Saya beradaptasi dengan berbagai perubahan dan situasi yang tidak menyenangkan, namun membuat saya mengenali batasan diri dan potensi yang selama ini saya abaikan. Saya dituntut untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat dengan risiko yang berada dalam tanggungan, yang perlahan membimbing saya untuk menyikapi sesuatu dengan berbagai pertimbangan.
Tetapi, sepandai-pandainya saya mengumpulkan dan menunjukkan kekuatan, pada suatu waktu saat orang-orang sedang menggantungkan diri pada saya, saya sendiri pernah merasa tidak ingin hidup dan putus asa. Saya kelelahan. Tekanan tidak lagi saya nilai sebagai tantangan. Rasanya ingin menyerah meskipun saya tahu kata itu haram untuk perjalanan saya yang cukup berdarah-darah. Telepon dari karib saya di pulau seberang tidak saya acuhkan, walaupun akhirnya saya tidak tahan juga dan meluapkan emosi dari suara saya yang tenggelam oleh isakan. Kamu nggak pernah sendirian, katanya berusaha menguatkan. Sebuah pesan klise yang maknanya baru saya sadari belakangan.
Diam-diam, petualangan ini membentuk saya. Menjelajahi bumi pertiwi membuka pikiran saya bahwa dunia tidak sekecil itu, ada banyak hal menarik untuk dieksplorasi. Bertemu dengan orang-orang hebat memantik sesuatu dalam diri saya untuk mematahkan batasan-batasan dan pemikiran kerdil yang selama ini saya bangun sendiri. Bertukar pikiran dengan orang-orang baru dengan latar belakang berbeda menambah kecintaan saya pada kebiasaan mengobservasi manusia, membuat saya paham bahwa manusia tidak melulu seperti yang terlihat; people only show you what they want you to see and you don't have the right to judge them because you know absolutely nothing.
Dan, yang membuat saya haru, ternyata saya benar-benar tidak pernah sendirian. Saat saya akhirnya berhenti dan mulai mengasihani diri karena tidak ada yang peduli, ternyata mereka ada di sana. Keluarga, sahabat-sahabat dekat, teman-teman yang tidak terlalu banyak. Mereka tidak pernah pergi barang sedepa. Selama ini, saya yang tidak perasa. Selama ini, jarak ini saya yang mencipta.
Namun, sekarang tidak lagi.
Saya telah pergi terlalu jauh. Kini waktunya pulang dengan utuh.
Saya merasa telah bertransformasi menjadi penggembala domba dalam The Alchemist: melakukan perjalanan untuk menemukan. Saya dipaksa untuk keluar dari zona nyaman untuk memberi rasa aman pada orang lain, yang lalu saya sadari, ternyata juga memberikan saya ketenangan. Saya beradaptasi dengan berbagai perubahan dan situasi yang tidak menyenangkan, namun membuat saya mengenali batasan diri dan potensi yang selama ini saya abaikan. Saya dituntut untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat dengan risiko yang berada dalam tanggungan, yang perlahan membimbing saya untuk menyikapi sesuatu dengan berbagai pertimbangan.
Tetapi, sepandai-pandainya saya mengumpulkan dan menunjukkan kekuatan, pada suatu waktu saat orang-orang sedang menggantungkan diri pada saya, saya sendiri pernah merasa tidak ingin hidup dan putus asa. Saya kelelahan. Tekanan tidak lagi saya nilai sebagai tantangan. Rasanya ingin menyerah meskipun saya tahu kata itu haram untuk perjalanan saya yang cukup berdarah-darah. Telepon dari karib saya di pulau seberang tidak saya acuhkan, walaupun akhirnya saya tidak tahan juga dan meluapkan emosi dari suara saya yang tenggelam oleh isakan. Kamu nggak pernah sendirian, katanya berusaha menguatkan. Sebuah pesan klise yang maknanya baru saya sadari belakangan.
Diam-diam, petualangan ini membentuk saya. Menjelajahi bumi pertiwi membuka pikiran saya bahwa dunia tidak sekecil itu, ada banyak hal menarik untuk dieksplorasi. Bertemu dengan orang-orang hebat memantik sesuatu dalam diri saya untuk mematahkan batasan-batasan dan pemikiran kerdil yang selama ini saya bangun sendiri. Bertukar pikiran dengan orang-orang baru dengan latar belakang berbeda menambah kecintaan saya pada kebiasaan mengobservasi manusia, membuat saya paham bahwa manusia tidak melulu seperti yang terlihat; people only show you what they want you to see and you don't have the right to judge them because you know absolutely nothing.
Dan, yang membuat saya haru, ternyata saya benar-benar tidak pernah sendirian. Saat saya akhirnya berhenti dan mulai mengasihani diri karena tidak ada yang peduli, ternyata mereka ada di sana. Keluarga, sahabat-sahabat dekat, teman-teman yang tidak terlalu banyak. Mereka tidak pernah pergi barang sedepa. Selama ini, saya yang tidak perasa. Selama ini, jarak ini saya yang mencipta.
Namun, sekarang tidak lagi.
Saya telah pergi terlalu jauh. Kini waktunya pulang dengan utuh.
"Apa pun yang terjadi, jangan ada yang disesalin. Karena aku yakin,
kata 'terbaik' udah kamu lakuin..."
No comments:
Post a Comment