"Sesibuk-sibuknya Kak Qiva, jangan lupa untuk membahagiakan diri sendiri. Semangat! ❤"Begitulah bunyi pesan yang saya temukan di buku catatan yang selalu saya bawa ke mana-mana. Sudah bak sahabat saja buku saya itu, karena menjadi tempat menumpahkan ide-ide tidak penting dan tidak masuk akal yang menyesaki kepala, juga menjadi kawan pengingat bagi saya yang pelupa akut. Semua jadwal kegiatan dan hal-hal yang harus saya lakukan tertera di sana. Maka ketika buku itu luput dari pengawasan dan tidak saya temukan di mana pun, saya kalang kabut dan hilang arah. Baru berselang dua hari saya mendapatinya tergeletak di lantai ruang sekretariat. Yang pada mulanya ingin kembali memaki diri karena telah melakukan kebodohan yang ke sekian, jadi urung setelah membaca tulisan tangan teman saya itu. Saya tidak tahan untuk tidak tersenyum dan memanjat syukur ketika sadar ternyata bahagia saya masih ada yang peduli. Sebab bagi saya, setidaknya dalam beberapa bulan terakhir, diri sendiri tidak pernah menduduki urutan teratas prioritas.
Sebagai salah satu cara menghargai usaha untuk bertahan, untuk kali pertama saya akhirnya memutuskan untuk rehat sejenak. Tanpa ba-bi-bu, beranjak dari kampus lebih awal dari biasanya. Untung saja saat itu jadwal kegiatan memang kosong sehingga kehadiran saya tidak begitu dibutuhkan. Menikmati kemacetan jalan raya dengan berbalas lelucon dan peratapan nasib bersama rekan perjalanan.
Tidak banyak yang saya lakukan setiba di rumah. Berbenah sebentar, lantas kembali bergabung di tengah padatnya lalu lintas.
Bagi saya, rehat tidak pernah cukup hanya dengan berdiam lalu tenggelam dalam selimut. Fisik benar kembali kuat, namun tetap ada celah dalam diri yang harus dibebat.
Tidak banyak yang saya lakukan setiba di rumah. Berbenah sebentar, lantas kembali bergabung di tengah padatnya lalu lintas.
Bagi saya, rehat tidak pernah cukup hanya dengan berdiam lalu tenggelam dalam selimut. Fisik benar kembali kuat, namun tetap ada celah dalam diri yang harus dibebat.
Keriuhan festival penulisan tahunanlah yang saya pilih sebagai obat.
Bepergian seorang diri sudah menjadi kebiasaan saya sejak lama. Tidak perlu merepotkan siapa-siapa, mengandalkan intuisi saja. Kehadiran alat transportasi daring saya anggap sebagai konspirasi semesta untuk mendukung kegemaran ini karena saya hanya bermodal telepon genggam.
Menambah koleksi buku (sembari berdoa semoga Tuhan menyediakan waktu untuk menikmatinya) dan menyicip camilan saja sudah cukup, sebenarnya. Namun, salah satu bagian menyenangkan dari hobi saya untuk ke mana-mana sendirian ini rupanya tidak pernah luput: bertemu kawan lama secara acak, lalu menjadi bagian dari lingkar pertemanan mereka yang sedang berlangsung saat itu. Berkenalan dengan orang baru selalu membuat saya bersemangat, apalagi jika dalam kegiatan penulisan seperti ini topik pembahasan tidak pernah jauh dari hal-hal yang saya senangi, buku dan segala bentuk karya sastra. Menyaksikan pertunjukan monolog di bawah atap langit kemudian menjadi penutup hari yang apik untuk membuat saya benar-benar merasa utuh kembali.
Hati saya belum pernah seringan itu saat merebahkan diri di kasur. Seolah tiada beban, meskipun saya tahu ia hanya bersembunyi dan siap hadir ke permukaan.
Dengan tenaga yang tersisa, saya memejam, memori dan hati berusaha merekam dengan baik rasa yang masih bertahan. Bukan apa-apa, saya butuh sesuatu untuk dikenang kembali setiap kali kelelahan dan tidak punya pegangan.
Sebelum hanyut oleh kantuk, saya mafhum satu hal: ungkapan "jangan lupa bahagia" yang kerap menjadi bahan candaan, ternyata bisa benar-benar menggerakkan seseorang sejauh ini. Mungkin saja saya terlalu perasa. Namun, jika kalimat ini disampaikan kepada mereka yang mati-matian berjuang hingga abai dirinya juga butuh perhatian, saya rasa tidak berlebihan jika pada akhirnya mereka sungguh terdorong untuk kembali peduli dengan bahagianya sendiri.
Jadi, jangan lupa bahagia!
Bepergian seorang diri sudah menjadi kebiasaan saya sejak lama. Tidak perlu merepotkan siapa-siapa, mengandalkan intuisi saja. Kehadiran alat transportasi daring saya anggap sebagai konspirasi semesta untuk mendukung kegemaran ini karena saya hanya bermodal telepon genggam.
Menambah koleksi buku (sembari berdoa semoga Tuhan menyediakan waktu untuk menikmatinya) dan menyicip camilan saja sudah cukup, sebenarnya. Namun, salah satu bagian menyenangkan dari hobi saya untuk ke mana-mana sendirian ini rupanya tidak pernah luput: bertemu kawan lama secara acak, lalu menjadi bagian dari lingkar pertemanan mereka yang sedang berlangsung saat itu. Berkenalan dengan orang baru selalu membuat saya bersemangat, apalagi jika dalam kegiatan penulisan seperti ini topik pembahasan tidak pernah jauh dari hal-hal yang saya senangi, buku dan segala bentuk karya sastra. Menyaksikan pertunjukan monolog di bawah atap langit kemudian menjadi penutup hari yang apik untuk membuat saya benar-benar merasa utuh kembali.
Hati saya belum pernah seringan itu saat merebahkan diri di kasur. Seolah tiada beban, meskipun saya tahu ia hanya bersembunyi dan siap hadir ke permukaan.
Dengan tenaga yang tersisa, saya memejam, memori dan hati berusaha merekam dengan baik rasa yang masih bertahan. Bukan apa-apa, saya butuh sesuatu untuk dikenang kembali setiap kali kelelahan dan tidak punya pegangan.
Sebelum hanyut oleh kantuk, saya mafhum satu hal: ungkapan "jangan lupa bahagia" yang kerap menjadi bahan candaan, ternyata bisa benar-benar menggerakkan seseorang sejauh ini. Mungkin saja saya terlalu perasa. Namun, jika kalimat ini disampaikan kepada mereka yang mati-matian berjuang hingga abai dirinya juga butuh perhatian, saya rasa tidak berlebihan jika pada akhirnya mereka sungguh terdorong untuk kembali peduli dengan bahagianya sendiri.
Jadi, jangan lupa bahagia!
No comments:
Post a Comment