12/16/17

Feelin 20


"Sulung Mama sudah dua puluh tahun." Mama seperti berbicara pada dirinya sendiri seraya membelai kedua pipi saya dengan hati-hati, seakan takut kalau perbuatannya akan menyakiti. Nyaris tak mampu menahan diri untuk pecah dalam tangis ketika mendapati tatapan beliau penuh haru, saya pamit terburu-buru. "Teman saya sudah datang," saya berdalih.

Sama sekali tidak terbesit kecewa ketika Mama tidak mengucapkan serentet harapan di hadapan saya pagi itu. Setelah mengamati Mama bertahun-tahun, saya tahu kalau setiap tindakan dan keputusan beliau diambil semata-mata hanya mempertimbangkan kebaikan saya dan adik-adik. Ketika beliau memilih untuk tetap bekerja, ketika beliau berusaha memenuhi kebutuhan kami berempat dan mengesampingkan kesenangan diri sendiri, atau ketika beliau mengaku kenyang saat melihat kami makan dengan lahap.

Bapak tidak kalah romantis. Hanya satu hari dalam setiap tahun saya dihadiahi kecupan di kening. Seiring pertumbuhan saya, saya paham Bapak bukan sosok yang bisa menunjukkan kasih sayangnya dengan ucapan atau usapan di kepala. Tidak pula dengan obrolan ringan seputar kegiatan sehari-hari, atau tentang lelaki mana yang kira-kira kepadanya akan saya titipkan hati. Saya tahu beliau peduli dengan menghidangkan Dua Piring Nasi dan Telur Mata Sapi, atau menelepon saya jika selepas magrib belum tiba di rumah, atau menyediakan obat nyamuk kalau-kalau nyamuk bandel mengganggu saya saat sedang mencuci alat makan usai santap malam.

Setiap tahun, dengan kehadiran mereka saja saya sudah bahagia luar biasa.

Apalagi jika dihujani harapan penuh kebaikan dari orang sekitar. Hari saya tidak bisa lebih baik lagi.

Semesta memang tidak pernah bercanda :)

Menginjak usia dua puluh tahun sebenarnya tidak membuat saya merasakan perbedaan yang signifikan atau merasa lebih 'tumbuh', sih, walau memang sedikit-banyak membuat cemas. Pertama, karena saya bukan lagi remaja belasan tahun. Kedua, kini saya selangkah lebih dekat dengan dunia orang dewasa yang ribet dan penuh konflik. Semoga kelak semesta tidak melulu menghakimi.

Jika tahun-tahun sebelumnya saya didoakan panjang umur dan selalu diberi kesehatan (yang alhamdulillah hingga saat ini masih dikabulkan Tuhan), memasuki kepala dua saya mendapati teman-teman mengharapkan saya untuk selalu bersyukur. Entah bagaimana saya merasa Tuhan mengingatkan saya melalui mereka. Beberapa kali dalam setahun ini saya memang sering merasa kekurangan; kurang pandai, kurang baik, tidak cukup bahagia, kehilangan kepercayaan diri.

Sepertinya Tuhan ingin saya berhenti sejenak dan menerima segalanya dengan kelapangan hati. Sebab bisa jadi segalanya memang sudah seharusnya seperti ini. Saya hanya perlu merasa cukup, lalu kembali berusaha dan berjalan lebih jauh lagi.

Good bye, teenage years. I hope I won't feel like dying all the time next year! :)

No comments:

Post a Comment