11/23/17

Potret Kehidupan Angkutan Kota

Pukul sembilan pagi itu saya sudah berdiri di depan halte Trans Mamminasata Pettarani. Tidak sedang menunggu bus, saya tahu jadwal melalui rute ini telah berlalu dan harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan bus berikutnya. Tanpa kendaraan raksasa itu pun lalu lintas sudah cukup padat oleh alat transportasi pribadi. Dua-tiga motor ditunggangi oleh lelaki dewasa dengan gadis di boncengan. Bisa jadi mereka adalah ayah yang khawatir terjadi sesuatu kepada anak perempuannya jika berkendara sendirian atau sekadar hubungan penumpang yang terburu-buru dan pengendara ojek daring yang tidak berujar apa-apa selain memastikan tempat tujuan.

Rutinitas mengobservasi hiruk-pikuk aktivitas manusia dihentikan oleh kendaraan bercat biru yang kini berada di hadapan. Saya mengembuskan napas keras-keras sebelum melangkah masuk dan kembali membiarkan satu jam dalam hidup berlalu hanya dengan duduk sambil mencoba menyelami isi kepala orang lain. Jika sudah asyik mengamati, biasanya benak saya akan menyusun skenario perjalanan hidup masing-masing mereka.


Dua perempuan tampak bergantian menyuap seporsi nasi bungkus dengan tangan yang kuku-kukunya tidak terawat, seraya meluapkan emosi dengan memuntahkan seisi kebun binatang dan ungkapan-ungkapan yang dalam keluarga saya dilarang keras untuk diucapkan. Selepas santap pagi itu mereka hendak membuang kertas makanan ke luar jendela mobil. Saya spontan melarang dan menganjurkan agar sampahnya disimpan hingga tiba di tujuan. Mungkin karena kebiasaan yang melekat dalam diri kami berbeda, saya hanya dipelototi, lalu kertas habis pakai itu berakhir di jalan raya. Baiklah.

Penampilan mereka yang urakan tampak kontras dengan mahasiswi yang duduk di seberang. Jas putih menyembul dari tas selempang yang dibiarkan terbuka setelah mengeluarkan beberapa lembar kertas penuh tulisan yang belum sempat dibacanya, ketika ia tampak terganggu dengan keriuhan dua perempuan itu. Ia terlihat sudah cukup lelah menghadapi setumpuk tugas dan laporan, tidak ingin perjalanannya ikut direcoki. Tanpa pikir panjang disambarnya earphone dan menyumpal kedua telinga.

Dalam pemberhentian kesekian, mobil mengangkut seorang wanita paruh baya yang membawa setengah karung beras dan dua dos sembako. Semakin sesaklah kendaraan ini, tetapi beliau sepertinya tidak peduli. Sesekali ditatapnya segala bawaan itu sambil tersenyum. Mata yang berbinar membuat saya betah untuk berlama-lama mengamati.

"Mau jualan, Bu?" Pak Sopir rupanya tidak bisa menahan rasa penasaran.

Yang ditanya menggeleng keras. "Anak saya sudah mau sarjana," jawab beliau sarat kebanggaan. Tidak satu senti pun senyum itu memudar. "Saya datang dari kampung mau menghadiahkan ini supaya dia lebih semangat kerja skripsinya."

Hati saya mendadak penuh oleh haru. Rasanya ada dua keran air yang siap diputar dalam mata saya. "Wah, selamat ya, Bu!" ucapan saya disambut dengan semringah. Pak Sopir turut merayakan kebahagiaan kecil pagi ini. Si Ibu kemudian bercerita banyak tentang Si Bungsu yang ternyata mampu menyusul sang kakak menempuh pendidikan tinggi dan menjadi pemuda kebanggaan di kampung.

Ketika akhirnya saya menjadi penumpang terakhir dari perjalanan singkat kami, saya yang hampir menyerah rasanya dibayangi oleh wajah kedua orangtua dan harapan-harapan beliau untuk anak sulungnya ini. Setelah dididik dengan penuh kasih sepertinya tidak pantas jika saya hanya berbuat seadanya. Maka berbekal energi positif yang baru saya terima, saya merapal doa agar semesta bisa diajak bekerja sama.

Langkah saya menuju kelas tidak pernah semantap ini.


Plot twist: Dosen berhalangan hadir. Seharian penuh tidak ada perkuliahan. Tuhan, tolong kuatkan saya....

2 comments: