Beberapa hari terakhir saya menghabiskan waktu liburan di rumah--sambil berdoa agar dikirimkan malaikat baik hati yang bisa menarik saya menjauh dari guling dan selimut. Saking banyaknya waktu luang yang saya miliki, saya malah sempat, lho, membaca kembali catatan kuliah semester terakhir. See? Kegabutan ini sudah mulai kronis.
Salah satu mata kuliah yang cukup berkesan adalah Hukum Islam Lanjutan; menjadi permulaan satu minggu yang panjang, dosennya unik dan nggak mbosenin, muatan kuliahnya juga gak bikin otak melilit.
Salah satu mata kuliah yang cukup berkesan adalah Hukum Islam Lanjutan; menjadi permulaan satu minggu yang panjang, dosennya unik dan nggak mbosenin, muatan kuliahnya juga gak bikin otak melilit.
Jadi, mengapa Hukum Islam ada dalam kurikulum fakultas hukum padahal di negara ini ada banyak kepercayaan? Menurut Mura P. Hutagalung dan Muhammad Ali, terdapat 5 (lima) alasan, yaitu alasan sosiologis, historis...
|skip ad|
Gak. Saya gak bakal ngasih kuliah terkait materi Hukum Islam. Hanya saja saat membaca salah satu materi di mata kuliah ini, otak saya cuap-cuap minta ditumpahkan: perkawinan.
![]() |
Courtesy of Pexels |
Perkawinan menjadi salah satu peristiwa hukum yang sering banget berlangsung di lingkungan saya dua tahun belakangan. Selebtwit yang saya follow sejak jaman SMP sudah menikah semua (kecuali Koh Lexy, masih senang bekerja dan keliling dunia). Tante, bahkan kakak-kakak sepupu yang dulu jadi soulmate saya keluyuran, juga sudah punya pasangan hidup. Teman-teman saya atau teman-teman kawan saya juga tidak ketinggalan. Senyum bahagia mereka bertebaran di media sosial. Ucapan selamat membanjiri kolom komentar. Berbagai desain kebaya untuk bridesmaid menghiasi layar dengan hashtag #inspirasikebaya #kebayacantik #inspirasimenikah.
Saya nggak ngepoin, lho. Toh jaman sekarang orang-orang akan dengan senang hati menunjukkan kehidupan mereka pada dunia.
"Mau menikah umur berapa?"Waktu SMA dulu saya dan teman sekelas umumnya akan menjawab usia 24-27, setelah melewati fase 'sekolah yang bener' dan 'mendapat pekerjaan yang halal dan membanggakan'. Kami juga suka tebak-tebakan siapa yang bakal nikah duluan. Gak terasa, kalau panjang umur, kami akan menginjak kepala dua dan impian menikah akan terwujud paling tidak tujuh tahun lagi. Masih cukup lama untuk mematangkan jiwa dan memantaskan diri, atau merombak rencana. Memilih tidak menikah, misalnya. Soalnya sekarang banyak yang kayak gitu, kan, lebih fokus membangun karir sehingga tidak sempat membangun rumah tangga.
Saya suka miris melihat pasangan-pasangan di dunia hiburan yang menggampangkan urusan berpisah setelah menikah. Bahkan di situs Direktori Putusan Mahkamah Agung tercatat ratusan ribu putusan cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Walaupun pihak yang tidak mencapai kebahagiaan lahir dan batin diberi hak seluas-luasnya untuk mengakhiri hubungan, tapi bukannya kita diharapkan menikah sekali seumur hidup, ya? Itulah mengapa memilih pasangan yang pas menjadi penting banget.
Juga, mungkin, memilih waktu yang tepat untuk menikah.
Entah ini pikiran suudzon saya doang atau memang telah menjadi fenomena alam, pernikahan di bawah usia 20 tahun sedang marak terjadi. Entah dengan alasan telah menemukan cinta sejati, menghindari zina, menutupi perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan sebelum menikah, bahkan dijodohkan oleh orangtua dengan anak dari sahabat beliau untuk kepentingan bisnis keluarga. Oke, yang terakhir mungkin terinspirasi dari sinetron.
![]() |
Courtesy of Pexels |
Menikah itu... apa nggak merasa aneh bangun tidur tiba-tiba melihat wajah asing? Bukannya menikah tidak menjadi impian saya, ya, tapi di usia secupu ini rasanya saya belum siap mengganti pemandangan wajah polos adik dengan yang lain. Dan sebelum larut dalam lelap, kita akan menemui wajah itu lagi. Sosok pasangan kemudian menjadi tempat bersandar saat dunia menghakimi dan berlaku tidak adil kepada kita.
Belum lagi, sebagai perempuan, kita harus mengurusi segala keperluan rumah tangga. Menyiapkan makanan, menghitung anggaran belanja, dan jangan lupakan rezeki Tuhan yang maha membahagiakan: kesempatan menggendong dedek bayi buah cinta keluarga.
Kedengarannya mudah dan menyenangkan, tapi ternyata tidak sesederhana itu. Kalau berantem sama pasangan, gak ada lagi namanya ngambek dan memutuskan hubungan sesuka hati, sebab gak hanya di hadapan penghulu dan para saksi, kita juga sudah berjanji pada Sang Pencipta untuk menjaga segalanya tetap utuh. Kita juga harus mampu menyelesaikan masalah sama pasangan tanpa melulu melibatkan orangtua. Belum lagi harus menghadapi batasan-batasan yang mungkin hadir dalam mewujudkan cita-cita dan melakukan hal yang disenangi semasa remaja. Dan semuanya harus dilakukan setiap hari, berulang-ulang, seumur hidup.
Tanpa mental baja dan kematangan berpikir yang mungkin baru bisa didapatkan setelah melewati momen-momen panjang di masa muda, suka-duka pernikahan mungkin akan menjadi sangat sulit untuk dilalui, bahkan menjadi batu sandungan yang dapat menggoyahkan rumah tangga.
Saya nggak tahu harus merasa senang atau sedih karena belum dilimpahkan rezeki seperti itu. Selain karena mental saya sepertinya belum siap dan saya masih senang mengeksplorasi diri sendiri, memang belum ada yang nyamperin Bapak dan Mama juga, sih.
And at the end, we do get what we deserve.
Lebih baik memanfaatkan waktu untuk meningkatkan kualitas diri dulu. Biar jadi pribadi yang baik, biar dipertemukan dengan yang baik pula. Belajar yang bener aja dulu, temukan ilmu di mana saja, asah kepedulian terhadap sesama dan rasa cinta pada keluarga, kemudian mengambil keputusan besar untuk menikah--agar kelak bisa mendidik anak-anak menjadi cerdas, tangguh, dan bahagia lahir batin. Tapi jangan menutup mata dan hati, ya.
Siapa yang bisa menebak
kalau besok lusa
kita akhirnya dipertemukan?
Atau, siapa yang tahu
kalau ternyata kita bahkan
tidak dipertemukan dengan siapa pun?
Well said !!
ReplyDeleteWell said !!
ReplyDeleteKak Wishnuuu makasih udah nyempetin baca! :')
Delete