"Kamu kehujanan," ujarmu sambil menyampirkan sebuah handuk kering di bahuku. Di luar hujan deras luar biasa, aku basah kuyup. Kau mendaratkan tubuh di kursi malas, menahan tawa melihatku menggerutu soal rambut yang terkena hujan padahal baru saja mendapat perawatan salon.
Aku mendelik ke arahmu, "Apa yang lucu?"
"Lekas keringkan tubuhmu, nanti kamu jatuh sakit. Lebih baik jatuh ke pelukanku ketimbang jatuh sakit."
Aku setengah mati mengulum senyum. "Dan membiarkan wangiku bercampur dengan aroma perempuan lain? Maaf, aku tak sudi, Tuan."
Kau menatapku lama, lantas bangkit dari posisimu. Posisi yang biasanya membuatmu betah berlama-lama menatap layar televisi sambil memakan apa pun yang tersedia dalam kulkas.
"Kata siapa aku akan membiarkan aromamu bercampur dengan aroma perempuan lain?" Kepalamu tiba-tiba sudah jatuh di bahuku.
"Minggir," balasku. "Aku harus mengeringkan tubuhku."
Kau tahu aku pura-pura kesal, karena itu kau langsung memelukku kuat-kuat. Bisikmu, "Aku ingin selamanya bersamamu."
Aku tertawa, entah karena bahagia mendengar ucapanmu atau karena rasa nyeri yang pelan-pelan menggelayut di hatiku. "Pulanglah, ambil cincin yang ada di jari manis tunanganmu. Lalu menua bersamaku."
Pelukanmu merenggang. Aku tahu apa artinya. Kau selalu saja hilang selera setiap kali aku menyebutkan cara agar kita benar-benar bersatu. Kenyataannya memang tak ada yang pernah kau lakukan untuk mewujudkan harapan menua bersamaku.
Katamu, ada beberapa orang yang diciptakan untuk saling mencinta tanpa harus memiliki satu sama lain.
Katamu, tunanganmu bisa mencuri nama belakangmu tapi bukan hatimu yang sudah menjadi milikku.
Katamu, hanya aku yang bergaung dalam kepalamu.
Aku lelah bersembunyi dan meyakinkan diriku berulang-ulang bahwa aku satu-satunya untukmu.
Aku lelah pura-pura tersenyum tiap kali kita bertemu sedang perempuan itu merangkulmu seolah kau benar miliknya.
Aku lelah, Sayang.
Bisakah kita berhenti sekarang?
No comments:
Post a Comment