"Dia datang lagi," lelaki di hadapanku memecah keheningan. Tatapannya menembus jauh ke luar jendela, sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku tahu persis siapa 'dia'. Belakangan, ia sering sekali membahasnya.
Kali ini, di mana? Aku bertanya-tanya sendiri. "Di kepalaku," ia melanjutkan seolah mampu membaca pikiranku.
Oh.
Aku tertegun. 'Dia' adalah hantu masa lalu miliknya. Beberapa minggu ini lelakiku sering dihantuinya dalam mimpi, di lingkungannya, dan tak jarang pula ia memikirkannya. Memang, hubungan mereka berakhir dengan tidak menyenangkan. Perempuan itu mengakhirinya begitu saja. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Ia menghilang dalam sekejap, meninggalkan lelakiku bersama serpihan hatinya.
Dan aku hadir bagai Dewi Penyelamat. Aku membantu lelaki patah semangat itu untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Semuanya berjalan begitu saja. Kami bersama, berjanji untuk mengubur masa lalu, dan kurasa aku sudah menempati seluruh kerajaan hatinya.
Hingga suatu hari ia berkata kalau ia sangat merindukan perempuan itu. Aku hanya tersenyum, mengerti bahwa setiap orang berhak mengenang kenangan. Aku bersandar di bahunya dan berkata kalau ia tak perlu khawatir karena kini ada aku yang setia mendampinginya. Dia mengangguk pelan. Aku menghela napas. Diam-diam berdoa agar kebersamaan kami tak dikacaukan oleh masa lalu.
Namun, satu hal yang terlambat kusadari, sejak saat itu, 'dia' sungguh bagai hantu. 'Dia' hadir dalam setiap percakapan kami. Setiap hari, tak ada habisnya lelakiku berkisah tentang perempuan penikmat senja itu. Tentang keelokan rupanya, pertemuan pertama mereka di sebuah pasar seni, keanggunannya yang tidak dibuat-buat, kegemarannya mengabadikan senja dari berbagai tempat, kesukaannya pada kopi susu, bahwa perempuan itu memiliki seekor kucing yang membuat lelakiku geli ketika menghabiskan Sabtu malam di rumahnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Aku hanya menjadi pendengar setia, membiarkan lelakiku meluapkan isi hatinya. Tak acuh pada rasa cemburu yang mulai terbit di sudut hatiku.
"Apakah kau benar-benar belum melupakannya?" Aku bertanya hati-hati. Nyaris seperti berbisik.
Rupanya aku berhasil memecah lamunannya. Lelaki di hadapanku mengedikkan bahu. "Entahlah. Awalnya aku mengira ini hanyalah perasaan sesaat. Namun, dugaanku tidak tepat. Dua bulan telah berlalu dan aku masih merasakannya. Rindu ini persis seperti kali pertama dia meninggalkanku dua tahun silam."
"Kau tak mencoba menghubunginya?" Aku menggigit bibir. Kurasa aku sedang menggali kuburanku sendiri.
Ia menatapku lekat-lekat. "Bolehkah?" Dan kini aku seperti mengubur diriku hidup-hidup. "Selama ini aku tak melakukannya. Janji kita, kamu ingat, kan? Mengubur masa lalu..." Ia tersenyum miris.
Katakan kau hanya bercanda! "Tentu saja boleh." Lagi-lagi aku mengabaikan suara hatiku.
Ia memandangiku lama, mungkin menerka apa yang ada di kepalaku saat ini. Melihatku tak bereaksi lagi, lelaki itu segera menyambar ponsel yang tadi diletakkan begitu saja di atas meja. Tangannya bergerak cepat di atas layar. Berbicara dengan seseorang di ujung telepon, menitip pesan tentang janji bertemu dengan perempuan penikmat senja.
Aku menyandarkan kepala pada dinding, menatapnya melakukan semua kesibukan itu. Pikiran tentang mereka yang akan kembali bersama dan ia mencampakkan aku dan aku hidup sendiri dalam kemalangan menari-nari dalam benakku.
Pertarungan melawan masa lalu. Akankah aku memenangkannya?
(Next: Melawan Masa Lalu: I'm Happy for You)
(Next: Melawan Masa Lalu: I'm Happy for You)
kodong:(
ReplyDelete