Sudah hampir dua bulan seluruh kota bagaikan sebuah ruang tunggu. Di sudut-sudutnya bergantung kecemasan dan pertanyaan-pertanyaan yang mencecar tanpa punya jawaban. Kita terkurung di antara langit, dinding-dinding bangunan, dan ketidakpastian yang semakin hari semakin mengikis kewarasan.
Setiap malam orang-orang tidur dengan mata terbuka untuk menyambut hari yang kita sudah lupa namanya. Di luar jendela kemiskinan menunjukkan diri lebih kuat daripada rasa takut. Himbauan-himbauan, uluran tangan, apa pun dilakukan agar dapat selalu kuat dan bertahan, karena mereka bilang, kita punya satu sama lain.
Saat ini bisa jadi kita sudah terbiasa karena tidak ada pilihan untuk melakukan sebaliknya. Tidak ada lagi kepanikan atau perasaan-perasaan berlebihan karena semua orang merasakan kebingungan dan ketidakberdayaan yang sama. Tetapi justru itu yang lebih mengkhawatirkan, terbiasa terhadap rasa hampa lebih menakutkan daripada kehampaan itu sendiri. Dulu, mungkin kita tidak sungguh-sungguh merasa sedih dan sepi, karena dalam kesedihan kita kehilangan harapan hanya untuk menemukannya kembali sedetik kemudian. Saat ini, meminjam istilah Albert Camus, kita seperti pejuang-pejuang besar saat perang: karena terlalu lelah, kita hanya berusaha meneruskan tugas rutin dengan semestinya, tidak lagi mengharapkan pertempuran akan berakhir atau kapan saat gencatan senjata.
Semakin berat saat harus melewati semuanya sendirian. Tidak hanya atap yang melindungi, memiliki teman berbagi juga merupakan privilese yang tidak selalu dapat dinikmati. Mereka bilang, kita punya satu sama lain. Namun, di ujung hari, saat tidak bisa saling mengunjungi dan semua orang berjuang melawan keresahannya masing-masing, satu-satunya yang mampu merawat kita adalah diri sendiri.
Ini bukan situasi terbaik, tapi harapan selalu ada, kata Asumsi. Semoga benar. Saya ingin sekali percaya itu benar.
No comments:
Post a Comment