Saya pernah merasa terganggu ketika ada yang mengeluh soal pola komunikasi yang tidak sehat karena mereka selalu jadi yang pertama memulai percakapan. Menurut saya, kalau memang butuh, kenapa tidak? It's you who need them. Tentu saja kebutuhan atas hal-hal immateril juga termasuk, seperti companionship atau emotional support. Mereka uring-uringan, merasa tidak bisa berbagi hanya karena satu alasan sederhana yang saya kira tidak masuk akal.
Sampai akhirnya saya mengalami sendiri. *insert clown emoji here*
Beberapa waktu lalu saya selalu jadi seseorang yang menyapa lebih dulu. Saya menelepon, mengajak video call. Seringnya, dia sibuk, dan saya akan diminta menunggu hingga dia ada waktu. Tapi beberapa saat tidak ada kabar sama sekali sampai saya kembali bertanya, "Kapan, nih?" And repeat.
Suatu hari, pola ini mulai mengusik saya. Ditambah lagi saat itu isi kepala saya carut-marut, keadaan benar-benar di luar kendali dan saya butuh teman berbagi. But he said he'd be busy for a while so maybe after this busy thing. Saya bilang, ok, nanti kabarin aja, ya. Namun, tidak terjadi apa-apa bahkan hingga dua hari setelahnya.
I wanted to ask him about it, but I thought to myself, "I always asked him to talk to me first. Is it just the case that he did not find me chatting or video calling him as important (or fun) as I thought it was?" Inisiatif untuk komunikasi yang sangat berat sebelah sedikit-banyak membuat saya merenungkan beberapa hal. Mungkin selama ini saya yang berlebihan. Mungkin saya menganggap penting hal-hal yang sebenarnya tidak. Sebab sering kali dia terlambat atau bahkan tidak memenuhi sama sekali waktu-waktu untuk untuk sekadar ngobrol. It made me somewhat sad. Or, like, disappointed. I then understand the big deal over who chatted first thing--it implies reciprocity of (at the very least mental) investment in the relationship. I didn't think that it matters for me to have people to need me as much as I need them, but it actually does matter.
Namun, saya berusaha menenangkan diri dan berpikir kalau saya memang terlalu membesar-besarkan. Teori saya, bahwa nilai kehadiran bisa tereduksi karena minimnya komunikasi, bisa jadi tidak tepat. Walaupun tentu saja hal ini tidak membuat saya berhenti untuk bertanya dan meminta waktu untuk ngobrol sebentar (being sad about things never really stops me from doing it if deemed necessary. Lol I'm sorry, by). *insert that clown emoji again*
Akhirnya, karena tidak bisa menyampaikan langsung, saya menumpahkan isi kepala ini melalui teks yang saya sendiri jengah membacanya.
Sering kali saya merasa tidak kesulitan untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan atau rasakan. Saya paham tidak semua orang bisa dengan mudah seperti ini, tapi dengan berbicara, pesan yang selama ini hanya membebani hati dan kepala akan sampai dengan mudah. (Sometimes not even talking about it make people understand, but if talking is not even helping, how do you expect from not talking at all). Saya pikir akan sangat melegakan untuk melepaskan diri dari kesedihan dan rasa sakit akibat ketidakpastian yang pusarannya bahkan tidak dapat saya temukan.
Interaksi antarmanusia memang tidak pernah mudah, rasanya saya belum pernah diberi tahu aturan pasti tentang bagaimana cara memperlakukan satu sama lain. Tapi tentang komunikasi, sejauh ini, saya belum melihat cara yang lebih efisien dari bertanya atau menyampaikan langsung apa-apa yang memang perlu saya sampaikan.
Ask them. Free yourself from doubt. Even if it was not the asnwer you want, maybe the answer is all that you need.
No comments:
Post a Comment