9/21/17

Kekerasan Tidak Melulu Soal Fisik

"Ada yang ingin menjelaskan tugasnya ke depan kelas?"

Ruangan diselimuti keheningan. Semua peserta kuliah mendadak tuli dan tidak peduli. Beberapa mengutak-atik ponsel, sebagian besar menekuri lembaran tugas dengan wajah serius bak sedang mencermati rumus aljabar, ada juga yang mengamati mereka memainkan semua sandiwara dengan ciamik. Daripada melakukan hal terakhir itu, sebenarnya saya ingin unjuk tangan dan menyudahi gerak-gerik teman sekelas yang tidak henti membolak-balik tugasnya. Tapi saya bahkan nggak tahu eksistensi tugas tersebut sampai jam kuliah akan dimulai. Jadilah saya hanya menebak-nebak siapa yang akan menekan egonya untuk maju.

Dua tangan teracung. Pemiliknya sudah saya duga, dua lelaki yang selalu duduk bersama di barisan terdepan tepat di hadapan meja dosen. Lelaki Pertama membacakan tulisan tangannya dengan suara yang tidak cukup lantang, namun percaya diri. Dia memang terkenal selalu aktif dalam diskusi kelas. Bacaan selesai, tidak ada yang menarik.

Lelaki Kedua dipersilakan oleh dosen. Di depan kelas, bacaannya berulang dan tidak cukup jelas untuk ditangkap telinga dan otak saya. Berulang kali dibaliknya lembaran tugas itu hingga kusut. Suaranya terdengar ke penjuru kelas, namun tidak mampu menyembunyikan kegugupan yang jelas ditunjukkan oleh kedua tangan yang gemetar hebat. Saya melihat dia berusaha meredam gejolak emosinya dengan menggenggam kertas itu semakin erat ketika suasana kelas mulai gaduh oleh cemooh. Beberapa tidak mampu menahan tawa, membuat kawan saya semakin meracau lantaran merasa harus segera menyelesaikan bacaan.

Courtesy of Ktrs

Saya marah pada diri sendiri karena tidak melakukan apa-apa untuk membungkam mereka, padahal dalam hati saya mendidih dan menyuruh mereka berhenti. Sedikit lagi meneriaki, tetapi saya mengepal tangan untuk menahan diri.

Akhirnya, saya di sini. Mencoba tidak memaki, hanya ingin berbagi.

Kepada teman-teman saya yang terhormat, saya sungguh ingin tahu apa yang ada dalam benak kalian. Apa yang kalian pikirkan ketika ejekan itu dimuntahkan dari mulut? Merasa hebatkah kalian?

Kamu pintar, merasa menjadi pusat semesta, punya tambang emas pribadi, tapi tujuan hidup hanya mengecilkan orang lain? Apakah seorang manusia bisa menjadi lebih buruk lagi?

Mengapa kamu senang sekali melihat orang lain menderita? Semakin dalam mereka tunduk ketakutan, semakin pongah kamu tertawa. Semakin kuat mereka menahan tangis, semakin tajam lidahmu menyebut semua kekurangan yang nampak pada mereka. Dan kamu menganggap semuanya gurau belaka, sementara mereka terpukul jiwanya dan merasa bukan apa-apa.

Saat seorang teman mati-matian membunuh rasa malunya untuk maju ke depan kelas, kamu yang hanya berperan sebagai penonton mulai berlagak jadi orang yang paling tinggi ilmunya. Padahal, jika disuruh maju pun kamu belum tentu bisa lebih baik. Kamu bahkan jauh dari baik, sebab untuk menyampaikan buah pikirmu pun kamu payah. Mengapa? Takut ditertawakan juga?

Sadarkah kemu sedang merundung? Memang tidak menyiksa secara fisik, namun setumpuk kata dan perbuatan itu dengan sangat jelas merendahkan orang lain. Bagaimana jika posisi kalian dibalik? Kamu ditunjuk untuk menyuarakan pendapat di depan orang lain yang terang-terangan meremehkan. Saya yakin seratus persen bahwa membayangkannya pun kamu enggan.

Saya muak dan tak henti mengumpat dalam hati hingga kelas hampir berakhir. Namun, Tuhan  yang Maha Tahu rupanya tidak ingin mendengar keluh kesah saya lebih lama dan tidak ingin mengurung saya dalam rasa bersalah.

Sebelum menutup kuliah, dosen saya sepertinya juga lelah melihat mahasiswa yang masih cekikikan membahas Lelaki Kedua. Beliau akhirnya menumpahkan apa yang selama satu setengah jam terakhir memenuhi hati dan kepala saya. Saat pandangan kami tidak sengaja bertemu di udara, saya mengangguk dengan senyum penuh terima kasih.

Manusia memang terkadang seperti itu, ya, saling menjatuhkan dan merasa lebih punya kuasa. Demi mempertahankan eksistensi, katanya. Seperti yakin sekali akan bertahan selamanya, padahal belum tentu esok hari masih bisa menatap matahari yang sama. Manusia terlalu banyak menyusun daftar kekurangan sesamanya hingga lupa bahwa diri sendiri pun belum menjadi siapa-siapa.

Daripada bergunjing, alangkah baiknya jika saling sayang. Daripada merendahkan, bukankah menghargai akan lebih menyenangkan?

Courtesy of CewekBanget

No comments:

Post a Comment