Ketika melirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 21.40 WITA. Mata saya mulai pedih karena cukup lama menatap layar laptop, tapi tidak membuat saya beranjak dan meninggalkan pekerjaan di hadapan. Tidak terasa tenggat waktu kami untuk mengumpulkan progress report salah satu program kerja organisasi semakin dekat. Kami harus bergegas.
Teman lelaki di sebelah kiri saya memberi beberapa instruksi sementara jemari saya berlomba di atas keyboard. Yang duduk di sisi kanan, juga lawan jenis, tidak henti melontarkan lelucon seraya menyusun bahan presentasi. Kami terbahak, mencomot makanan, sesekali bernyanyi mengikuti lagu yang memenuhi ruangan. Tidak peduli sekitar, kami punya dunia sendiri dan sedang bergelut di dalamnya.
"Kamu mirip cucu saya, Nak." Kami bertiga mengangkat kepala, memastikan siapa pemilik suara. Di hadapan kami duduk seorang nenek yang saya duga berusia sekitar 60 tahun. Sejak kami tiba, beliau memang sudah berada di sana, sendiri dan sibuk bercakap dengan seseorang entah siapa melalui telepon--baru saja selesai, rupanya.
Salah satu kawan saya mencoba merespon, "Siapa, Bu?"
"Kamu yang di tengah. Cucu saya juga perempuan berkacamata, persis kayak kamu," balas beliau ramah sambil menunjuk saya. "Tapi, kalau bepergian dia selalu ditemani ibunya. Saat melihat kamu saya heran, kok, cucu saya bisa pergi sama laki-laki."
Saya cengengesan dengan sopan. Mencoba menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Saya hampir mengabari keluarga di rumah, lho. Mungkin ibunya kecolongan sampai cucu saya keluyuran di luar rumah dengan dua laki-laki hingga malam begini," sambung Nenek. Kok nyelekit, ya?
Ego saya mulai sedikit tersentil ketika Nenek akhirnya menutup percakapan. "Ternyata kamu bukan cucu saya. Hehehe..." Tawa kecil beliau tidak terdengar menyenangkan lagi.
Satu-dua ucapan selamat tinggal saya lemparkan ketika Nenek akhirnya beranjak, menyisakan saya yang cemberut dan konco-konco di samping saya terpingkal. Mereka baru berhenti tertawa ketika saya mengancam tidak akan menyelesaikan laporan ini tepat waktu.
Saya mendelik saat salah satu konco ini dengan bercanda mengatakan ibu saya kecolongan, atau saya 'anak nakal' karena belum pulang. Beberapa kali kami saling menuding hingga lelah dan kembali ke laptop. Sempat terbesit di benak saya, apakah ibu saya memang kecolongan? Apakah ibu saya salah selama ini karena membiarkan anak perempuannya bepergian dan berinteraksi dengan lawan jenis?
Namun, jika mengingat dukungan dan kepercayaan yang kedua orangtua berikan untuk saya mengeksplorasi diri, saya tahu jawabannya: tidak. Kedua orangtua saya memang tidak selalu bisa membuntuti ke mana pun saya pergi karena memiliki kesibukan masing-masing, namun tidak berarti saya bebas pengawasan begitu saja. Izin sebelum keluar rumah, satu-dua telepon mereka, semuanya mereka syaratkan jika saya akan beraktivitas.
Sesekali saya meminta Bapak untuk mengantar ke tempat rapat semata-mata agar beliau tahu kesibukan saya beberapa minggu terakhir. Atau ketika sedang malas bepergian saya mengajak teman berkumpul di rumah (kadang sebagian besar atau kesemuanya laki-laki) dan orangtua saya tidak keberatan, malah memberi camilan.
Mungkin pola pikir dan gaya hidup setiap orangtua berbeda, tergantung pengalaman dan seperti apa mereka dulu diperlakukan. Orangtua saya mendapat kebebasan untuk mencoba berbagai hal semasa muda, jadi mengapa mereka harus membatasi diri dalam memberi kesempatan serupa kepada anak-anaknya?
Yang saya dan ketiga adik saya harus lakukan hanya menjaga rasa percaya sebaik mungkin dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kami.
Kalau orangtua kamu bagaimana? Kecolongankah?
*Sumber gambar: Pexels
Saya cengengesan dengan sopan. Mencoba menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Saya hampir mengabari keluarga di rumah, lho. Mungkin ibunya kecolongan sampai cucu saya keluyuran di luar rumah dengan dua laki-laki hingga malam begini," sambung Nenek. Kok nyelekit, ya?
Ego saya mulai sedikit tersentil ketika Nenek akhirnya menutup percakapan. "Ternyata kamu bukan cucu saya. Hehehe..." Tawa kecil beliau tidak terdengar menyenangkan lagi.
Satu-dua ucapan selamat tinggal saya lemparkan ketika Nenek akhirnya beranjak, menyisakan saya yang cemberut dan konco-konco di samping saya terpingkal. Mereka baru berhenti tertawa ketika saya mengancam tidak akan menyelesaikan laporan ini tepat waktu.
Saya mendelik saat salah satu konco ini dengan bercanda mengatakan ibu saya kecolongan, atau saya 'anak nakal' karena belum pulang. Beberapa kali kami saling menuding hingga lelah dan kembali ke laptop. Sempat terbesit di benak saya, apakah ibu saya memang kecolongan? Apakah ibu saya salah selama ini karena membiarkan anak perempuannya bepergian dan berinteraksi dengan lawan jenis?
Namun, jika mengingat dukungan dan kepercayaan yang kedua orangtua berikan untuk saya mengeksplorasi diri, saya tahu jawabannya: tidak. Kedua orangtua saya memang tidak selalu bisa membuntuti ke mana pun saya pergi karena memiliki kesibukan masing-masing, namun tidak berarti saya bebas pengawasan begitu saja. Izin sebelum keluar rumah, satu-dua telepon mereka, semuanya mereka syaratkan jika saya akan beraktivitas.
Sesekali saya meminta Bapak untuk mengantar ke tempat rapat semata-mata agar beliau tahu kesibukan saya beberapa minggu terakhir. Atau ketika sedang malas bepergian saya mengajak teman berkumpul di rumah (kadang sebagian besar atau kesemuanya laki-laki) dan orangtua saya tidak keberatan, malah memberi camilan.
Mungkin pola pikir dan gaya hidup setiap orangtua berbeda, tergantung pengalaman dan seperti apa mereka dulu diperlakukan. Orangtua saya mendapat kebebasan untuk mencoba berbagai hal semasa muda, jadi mengapa mereka harus membatasi diri dalam memberi kesempatan serupa kepada anak-anaknya?
Yang saya dan ketiga adik saya harus lakukan hanya menjaga rasa percaya sebaik mungkin dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kami.
Kalau orangtua kamu bagaimana? Kecolongankah?
*Sumber gambar: Pexels
No comments:
Post a Comment