3/29/17

Senyum Bapak-Mama


Saya belum punya cukup uang untuk membantu Bapak dan Mama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Juga belum cukup berilmu untuk meraih prestasi dan membanggakan mereka. Maka, demi senyum tipis yang menggantung di wajah Bapak dan Mama dalam usaha menghapus penat mereka usai menghadapi kerasnya dunia dalam wujud kantor, saya berusaha melapangkan hati mereka dengan menemani menyantap makan malam di ruang makan sederhana rumah kami, atau bahkan sekadar duduk bersama di ruang keluarga dengan bekal segudang cerita.

Dari berbagai buku serta kisah yang biasa dibagikan keluarga saya, saya tahu kalau orangtua selalu bahagia jika sang anak menyediakan waktu untuk berbincang tentang apa saja, sebab dengan begitu orangtua bisa melihat betapa anaknya telah tumbuh dengan pesat. Apalagi kalau dipikir-pikir, remaja seumuran saya sekarang ini biasanya terlalu sibuk dengan dunia sendiri, sehingga lupa kalau orangtua pun semakin menua dan butuh perhatian. Sebab tidak hanya kita sebagai anak yang butuh support, orangtua pun demikian. Lagi pula, bagi remaja yang hidupnya cukup beruntung, apa, sih, masalah terberat yang dihadapi? Nilai jeblok? Diselingkuhin? Ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya? Falling in love with people they can't have? Hayuklah banyak-banyak ngabisin waktu bareng orangtua.

Kalau melihat rambut Bapak dan Mama yang mulai memutih, saya rasanya ingin memanjatkan syukur setinggi-tingginya karena ternyata sudah selama itu Tuhan memberi saya kesempatan untuk merasakan kasih sayang tanpa cela. Namun di sisi lain, rasanya hati saya bergetar, betapa pada masa remaja ini saya tidak cukup menyisihkan waktu untuk menemani orangtua saya menjalani kehidupannya menuju hari tua. Ternyata Bapak dan Mama sudah tumbuh sepesat ini...

Selain itu, yang kebanyakan kita tidak menyadari, orangtua selalu berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan kita. Sekali, dulu, Bapak memakan cokelat adik saya yang disimpan di kulkas. Pas tahu cokelatnya sudah habis, adik saya menangis seharian meminta cokelatnya dikembalikan. Keesokan hari hingga seminggu kemudian, adik saya ini sudah melupakan insiden cokelat dan menjalani hari seperti biasa, tapi Bapak selalu menyempatkan waktu untuk meminta maaf. Setiap hari, lho! Hingga suatu malam Bapak pulang dengan satu kantong berisi berbagai jenis cokelat. "Bapak tidak tahu kamu sukanya yang mana, juga tidak tahu mana yang paling enak, jadi Bapak ambil saja semuanya," ujar Bapak waktu itu. Adik saya nangis lagi, kali ini merasa bersalah dan ganti meminta maaf sudah membuat Bapak kepikiran.

Saya juga demikian. Berbagai harapan dan keinginan menghiasi dinding kamar saya. Perlahan tapi pasti, satu per satu terpenuhi. Sepertinya Tuhan mendengar doa saya untuk harapan A, besok ngarepin B lagi ah, pikir saya waktu itu, sebelum saya mendapati Mama mengamati lekat-lekat setiap isi kepala saya yang tergantung dalam wujud corat-coret. Sejak saat itu saya sadar, Mama berusaha melakukan apa pun untuk menyenangkan saya. Orangtua saya akan rela menukar segala yang dimiliki demi kebahagiaan saya dan adik-adik.

Jadi mulai sekarang, yuk bahagiain orangtua kita masing-masing. Kalau kamu mau bahagiain orangtua saya juga boleh, sekalian kenalan, kan, siapa tahu Mama suka. Hehehe.

Bapak dan Mama saya, sih, dengan duduk diam di sisi mereka saja mereka sudah senang bukan main. Kamu mungkin punya cara berbeda? Memberi cincin berlian atau mobil mewah, mungkin (boleh-boleh saja sebenarnya yang penting pajak barang mewahnya dibayar, ya). Asal jangan bawain cucu padahal belum menikah....

No comments:

Post a Comment