3/29/17

Kemanusia(l)an


Saya baru saja membaca berita tentang seorang pria yang tewas setelah dihakimi massa di salah satu pelosok Indonesia. Pria tersebut diduga pelaku penculikan anak karena sikapnya yang cenderung menutup diri. Warga yang kepalanya penuh dengan buruk sangka seketika menyerang pria tersebut hingga luka parah, dan akhirnya tewas. Malang, nyawanya tidak cukup bernilai di mata warga yang terlanjur judgemental.

Setelah ditelusuri lebih jauh akhirnya diketahui bahwa ternyata pria tersebut datang ke kampung itu hanya dengan satu tujuan mulia: mengantarkan beras untuk anaknya, juga hendak membeli bahan makanan untuk keluarga yang menunggu di rumah.

Seketika saya tercekat.

Jika satu nyawa melayang akibat tindak kekerasan massa seperti ini, harus menyalahkan siapa?

Apakah saya naif? Semoga tidak. Apabila kita menilik kasus penculikan anak yang marak beberapa tahun ini, memang wajar jika warga cemas dan penuh curiga, saya pun ikut gelisah karena takut jadi korban (saya memang sudah kuliah, tapi perawakan masih bocah banget, hiks). Tetapi, apakah tindakan seperti ini dapat menghilangkan setiap inci kegelisahan itu? Bukankah hanya semakin menimbulkan kekhawatiran, dan malah rasa bersalah setelah mengetahui fakta yang ada--bahwa korban kekerasan mereka bukanlah pelaku kejahatan? Sebegitu tidak percayanyakah masyarakat bahwa penegak hukum dan jalur hukum adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik di tengah-tengah kita, sehingga masyarakat merasa 'berhak' terhadap nyawa orang lain?

Sedikit banyak saya bisa merasakan kelegaan masyarakat tersebut apabila pelaku kejahatan di daerah mereka bisa disingkirkan, sebab hal itu pernah dialami warga di tempat tinggal saya. Namun, kalau tidak lebih dulu menggali latar belakang si 'sasaran' dan ternyata salah orang seperti ini, apakah ada yang bersedia bertanggung jawab?

Setiap mengingat si bapak itu, hati saya perih. Tidak hanya beliau, sebenarnya, di luar sana pun banyak orang yang menjadi korban 'salah sasaran' akibat kelalaian kelompok masyarakat atau bahkan penegak hukum. Ada yang tewas, ada yang luka parah, ada yang telah menjalani hukuman penjara puluhan tahun, belakangan diketahui bahwa mereka tidak pernah sekalipun melakukan kejahatan yang dituduhkan.

Miris, ya?

Kalau dipikir-pikir sebenarnya negeri kita tercinta ini bisa banget, kok, jadi jauh lebih baik. Negara kita berpotensi untuk mengurangi kasus serupa yang saya ceritakan di atas maupun tindak kelalaian, kesalahan, atau kejahatan lainnya. Hanya saja, segala jalan menuju kebaikan itu tertutup kabut tebal bernama nafsu untuk berkuasa yang orientasinya memperkaya sanak famili, juga memuaskan diri sendiri. Akhirnya terjadilah ketimpangan; yang kaya setiap bulan jalan-jalan ke luar negeri, yang kekurangan harta harus menghilangkan nyawa dulu agar bisa mencicipi makan malam.

Atau mungkin karena seiring perkembangan zaman, yang mana nilai-nilai luhur para pendahulu tidak lagi dinomorsatukan, sebagian besar masyarakat kita tidak cukup ditanamkan moral dan kemanusiaan, ya, sehingga menyiksa orang lain secara fisik maupun psikis sudah dianggap biasa.

Atau, saya yang terlalu sentimental dan selalu terbakar hatinya jika satu lagi nyawa seseorang melayang dengan cara-cara yang tidak manusiawi.

Ataukah, memang seperti itulah Dia menentukan cara seseorang kembali ke pangkuan-Nya? Hmm, tidak ada yang tahu, sih. Namun, setidaknya, diri sendiri harus memanusiakan manusia dulu. Hargai nyawa dulu. Bermanfaat bagi bangsa dan agama dulu. Sisanya terserah Tuhan.

Bisa, kan?

No comments:

Post a Comment