"Mengapa menghabiskan malam yang semarak hanya seorang diri?"
Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat kepala, menoleh pada lelaki bertudung yang kini duduk di sisi kiri. Sejak kapan ia ada di sana, aku tidak tahu. Lelaki itu menyembunyikan kedua tangannya di kantung jaket. Dari posisi tubuhnya yang tegak, kutebak dia menatap lurus menembus gazebo kayu di hadapan kami.
Aku membalas, "Bukankah kau juga begitu?"
Sayup-sayup aku mendengarnya terkikik. Tawa itu perlahan tenggelam oleh suara orang-orang di tepi pantai yang menghitung mundur. Sepuluh.. sembilan.. Ah, aku rasa takkan ada perubahan berarti dalam hidupku. Tahun lama pun baru akan sama saja.
"Siapa namamu?" tanya lelaki itu tanpa menoleh. Masih menyembunyikan wajah di balik tudung cokelat muda.
"Tia." Aku meliriknya, menunggu reaksi atau apa saja yang menampakkan wajah si pemilik. Duduk di tempat terbuka dengan selembar kaus di badan sudah cukup membuat gigil, ditambah kehadiran lelaki asing menakutkan di sisi kiri, aku rasanya ingin membeku saja saking berdebarnya. Bukan jenis debar yang menyenangkan, kau tahu.
Lelaki bertudung tak kunjung menjawab. Aku melihat kepalanya menengadah, mungkin memandangi bunga api yang kini memecah sepi kota yang akan terasa di hari lain. Percikan yang tidak abadi. Melayang. Berwarna. Meredup. Terlupakan.
Aku baru saja ingin menanyakan nama ketika ia kembali membuka suara, seperti bergumam, "Jika kau hanya boleh mengharapkan satu hal tahun ini, apakah harapan itu, Tia?"
Setelah semua hal bodoh yang kulakukan, aku tidak yakin Tuhan masih memberiku kesempatan bermimpi, pikirku. Namun, akhirnya kujawab juga tanpa berpikir panjang. "Aku ingin berkumpul bersama keluargaku. Aku sangat merindukan mereka," ujarku sungguh-sungguh. Sejak tadi aku memang hanya memikirkan rencana untuk pulang, tetapi aku sendiri masih belum yakin dengan hal itu.
"Lalu mengapa kau tidak pulang dan malah teronggok sendiri di sini?"
"Tidak," sergahku. "Aku sudah empat tahun meninggalkan rumah dan tidak pernah mencoba menghubungi Ayah dan Bunda. Kedatanganku hanya akan mengacaukan perjuangan mereka untuk bangkit dalam beberapa tahun ini."
Hanya sepersekian detik. Tapi, aku melihatnya. Aku tahu dia baru saja melirikku dengan matanya yang... entahlah, aku tidak mampu memerhatikan dengan baik. Namun aku merasa mengenal tatapan itu, tanpa tahu milik siapa.
"Pulang saja dulu, mereka menyambut atau tidak perkara nanti," ujar lelaki bertudung. "Seperti tahun baru. Kau menyambut atau tidak, dengan terompet atau bukan, dengan kekasih atau tanpa sesiapa, waktu akan tetap bergulir. Tahun yang lain akan datang. Pun kau, diakui atau tidak, toh tetap bagian dari keluarga. Pertalian darah tidak bisa diputus begitu saja."
Lelaki itu berdehem dan melanjutkan. "Lagi pula kau belum mencoba. Mengapa seenaknya menyimpulkan?"
Setelah berkata demikian, kawan baruku beranjak. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh tanpa berkata apa-apa. Ia tidak tahu apa yang telah ia lakukan. Ia tidak tahu perubahan apa yang diakibatkan oleh kalimat-kalimatnya barusan. Sesuatu dalam diriku perlahan meronta, menuntut kebebasan setelah kukubur hidup-hidup. Aku tahu itu rindu.
Aku mengambil langkah cepat kembali ke kamar yang baru kusewa tadi pagi. Mengepak barang. Menata kamar. Memaksa diri untuk lelap saat orang-orang di seluruh pejuru dunia membunyikan terompet yang hampir serupa.
Saat matahari terbit, aku akan pulang.
Kau tidak pernah tahu perbuatanmu akan memberi dampak seperti apa dalam hidup orang lain. Bahkan, jika hal itu kau anggap sepele. Bahkan, jika ia adalah orang asing yang mustahil akan kau temui di waktu lain. Hal terbaik yang bisa kau lakukan hanya berusaha melakukan hal-hal baik, kepada siapa pun, kapan pun, di mana pun. Karena satu kejadian dapat berlanjut ke yang lainnya. Karena satu kebaikan dapat berlanjut ke yang lainnya.
Jangan berhenti menulis, percayalah selalu ada penikmat dari karya-karyamu!
ReplyDelete