12/2/15

Dua Piring Nasi dan Telur Mata Sapi


Saya sedang mengobrak-abrik rak buku ketika Bapak memanggil dari lantai satu rumah kami, "Epi, turun dulu!" Saya bertanya-tanya apakah saya telah melakukan kesalahan, mengingat kembali pukul berapa dan dengan siapa saya pulang kuliah tadi sore, di mana saja tempat yang saya kunjungi seharian--siapa tau Bapak akan membahas hal itu.

"Iya, Pak, tunggu!" balas saya sama lantangnya. Bapak tetap meneriakkan nama saya. Tanpa henti, "Epi!" terus menggema di sudut-sudut rumah. Saya mendengus kesal. Membanting pintu rak. Saya kan sudah bilang tunggu, Bapak gak sabaran banget, sih.

Saya menuruni tangga dengan cepat, sesekali melompati dua anak tangga sekaligus. Saat tiba di ruang makan, Bapak sudah siap bersama telur mata sapi dan nasi dalam dua piring. "Kamu makan dulu. Telurnya Bapak yang goreng. Enak, lho."

Jantung saya berhenti sepersekian detik. Tertegun. "Epi...," nama saya kembali disebut. Saya segera menarik kursi makan di samping Bapak. Merutuki diri sendiri, betapa sikap saya kepada Bapak begitu buruk.

"Ayo dimakan nasinya," ujar Bapak saat mendapati saya hanya menatap piring dalam diam.

Untuk beberapa saat, saya tidak bisa menikmati hidangan sederhana yang lezat itu di lidah saya karena berusaha memasang wajah datar di hadapan Bapak. Saya teringat, 7 tahun lalu saya dan Bapak duduk di tempat yang sama dengan hidangan serupa, namun kala itu beliau terlihat lebih muda dan tangguh. Saya terlalu sibuk dengan sekolah, kegiatan organisasi, tugas, dan perkuliahan semester ini sehingga melupakan hal-hal kecil tentang Bapak, sampai tiba pada makan malam bersama kami. Waktu telah mengubah banyak hal pada diri Bapak, tapi untuk beberapa alasan yang saya tidak ketahui, Bapak tidak pernah lupa untuk mengajak saya makan bersamanya, atau sekadar mengantar saya ke sudut jalan tempat menunggu angkutan umum. Mengingat momen-momen itu membuat saya hampir menangis. Sejak kecil, orang-orang bilang sayalah yang paling dekat dengan Bapak dan beliau amat protektif terhadap saya. Namun, masa remaja saya malah berlalu begitu saja tanpa terlalu banyak melibatkan beliau.

Maaf, Bapak.

Dalam hubungan anak-bapak lain, mungkin cinta adalah mobil dan gadget canggih. Bagi kita, cinta adalah dua piring nasi dan telur mata sapi.


ps: habiskan waktu lebih banyak dengan keluarga, khususnya orangtuamu, karena kau tidak pernah tahu kapan semesta akan mengambilnya darimu. Sayangi mereka, karena mereka tidak bisa menetap di sisimu selamanya untuk berharap kau akan menyayanginya. Kau tahu, mereka tumbuh semakin tua setiap satu kedipan mata.

No comments:

Post a Comment