Jalur pulang-pergi saya ke kampus melewati salah satu cabang sungai (atau kanal?). Selama ini saya tidak begitu memerhatikan kondisi sungai tersebut, hingga kemarin, saat kota diguyur hujan dan angkot terjebak macet. Saya memandang ke luar melalui jendela yang dipenuhi tetesan air, mendapati air sungai mengalir bersama tumpukan sampah. Hati saya meringis, mengapa orang-orang ini begitu sulit membuang sampah pada tempatnya?
Saya mendadak teringat ujian praktikum biologi yang saya lalui sebagai salah satu tahap kelulusan SMA. Bagi teman-teman, materi ujian saya adalah yang termudah yaitu tentang pencemaran lingkungan. Saya disediakan seekor ikan kecil dalam wadah, segelas detergen bubuk, dan sebuah alat timbang (lupa namanya apa, hahaha). Yang harus saya lakukan hanya mengukur berapa banyak detergen yang dibutuhkan untuk kemudian dituangkan ke dalam wadah tempat ikan mungil itu berada. Saya tahu betul akibatnya jika ikan hidup bersama zat-zat yang terkandung dalam detergen. Saya enggan melakukannya, namun bagaimana pun juga saya harus menuang detergen itu.
Saya hampir menangis ketika perlahan-lahan ikan itu berhenti bergerak. Mulutnya megap-megap seolah mencari air bersih. Air mata saya jatuh saya ikan diam sepenuhnya. Tidak ada lagi sirip yang bergoyang, tidak ada lagi mata mungil yang berkedip seolah menggoda seekor kucing. Saya baru saja dengan sengaja membunuh seekor ikan tidak bersalah. Jika ikan itu seorang manusia, saya bisa dikenakan Pasal 340 KUHPidana--hih, amit-amit.
Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak organisme yang mati di perairan jika detergen sebagai salah satu limbah rumah tangga larut bersama mereka. Surfaktan yang terkandung dalam detergen akan mengurangi kemampuan perkembangbiakan organisme tersebut. Detergen juga memiliki andil besar dalam menurunkan kualitas air. Untuk menanggulangi hal itu, kita perlu memerhatikan detergen yang dikonsumsi. Pilihlah yang tidak mengandung fosfat atau kadar fosfatnya redah. Atau pilih saja detergen yang mengandung sedikit busa sehingga air yang digunakan untuk membilas tidak terlalu banyak. Kita juga bisa menggunakan produk lokal agar meminimalisir jejak karbon yang dihasilkan dari transportasi.*
Tidak hanya mengatasi dampak negatif yang dihasilkan detergen, tetapi juga jenis limbah lain seperti sampah organik dan anorganik. Biasakan memilah kedua jenis sampah tersebut; yang organik (sisa makanan, dsb) dibuang ke tempat pembuangan, anorganik (botol/gelas plastik, dsb) diolah menjadi barang-barang lucu atau dijual ke orang-orang yang lebih bisa memanfaatkannya. Jangan malah dibuang ke sungai atau selokan karena bisa menyumbat aliran air dan mengakibatkan pencemaran.
Kesadaran tentang arti pentingnya kebersihan perlu tumbuh dalam diri setiap orang, sebagaimana negara telah mengatur pencegahan kerusakan lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di sepanjang jalan ada tempat sampah yang disediakan pemerintah, sepanjang koridor sekolah atau di sudut-sudut kampus juga ada. Jadi apa susahnya, sih, membuang sampah ke tempat-tempat itu? Sampai kapan negara kita harus meributkan masalah 'jagalah kebersihan'? Saat negara lain sudah mengatasi pencemaran udara dengan teknologi canggih karena kebersihan tanah dan air sudah terjaga, sebagian besar masyarakat kita masih perlu diteriaki untuk tetap memegang kemasan minumannya sebelum mereka menaruh di bawah kursi dan pergi begitu saja. Masyarakat kita masih merokok di tempat umum, masih meludah di jalanan, masih buang air kecil di bawah pohon.
Lingkungan adalah tempat kita tumbuh dan menjalani hidup. Lingkungan yang bersih akan memberi pengaruh baik bagi kesehatan tubuh dan pikiran. Yuk, jaga kebersihan lingkungan mulai dari meningkatkan kesadaran diri tentang pentingnya 'bersih' itu sendiri. Jangan mau dikenang sebagai seseorang yang hanya menuh-menuhin bumi dan tidak melakukan apa-apa untuk menjaga kelestariannya.
ps: *sumber: Limbah Detergen bagi Lingkungan
No comments:
Post a Comment