![]() |
Courtesy of Pinterest |
Bukan. Aku bukan Nadya. Gadis semampai itu adalah kawan pertamaku saat mencicipi udara universitas dan bergabung dalam riuhnya kegiatan mahasiswa. Kami lahir di hari yang sama, namun dia mengambil seluruh kesempurnaan fisik dengan wajah elok layaknya pahatan seniman andal, tanpa menyisakan sedikit pun untukku. Jika Nadya adalah salah satu siswi di sekolahmu, saat malam perpisahan dia pasti menjadi The Queen dan aku jadi babunya. Kau tahu, dengan kulit cerah-mulus-kencang, hidung mancung yang kaku namun pas di wajah, dan bibir seperti yang ada dalam poster iklan sulam bibir, dia bahkan bisa menjadi siapa pun yang dia inginkan. Ditambah dengan tubuh ideal yang menjadi incaran para pedagang online untuk diminta nge-endorse produk mereka, tentu saja Nadya langsung diusung sebagai ikon body goals.
Aku? Aku bahkan tak berani bermimpi untuk jadi seperti itu. Dengan kulit putih pucat, tubuh kurus, dan tinggi di bawah rata-rata perempuan Indonesia, orang-orang malah mengira aku anak vampir. Mungkin juga aku patut mensyukuri fisik yang aku miliki karena kawanku jadi punya bahan ejekan.
Di kampus, walau Nadya orang pertama yang aku kenal, tentu saja aku bukan yang pertama untuknya.
Orang-orang yang sekarang sedang berfoto bersama Nadya dan kuenyalah yang menjadi orang-orang pertama dikenalnya, sekaligus yang terdekat. Geng Barbie itu selalu berempat dengan tatanan rambut juga warna baju yang sama setiap harinya. Entah mereka terpaksa atau dengan senang hati memirip-miripkan diri dan kepribadian, tapi, setidaknya mereka saling memiliki. Itu yang paling penting.
Sebab aku tidak memiliki siapa pun.
Tidak ada kawan dekat, tidak pula sahabat, apalagi geng. Dan kekasih. Tidak ada tempat berbagi kisah seharian. Tidak ada tempat untuk beristirahat dari kekejaman dunia. Tidak ada kode mata saat orang yang disukai lewat. Tidak ada yang memberi kejutan saat ulang tahun. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada.
Orang-orang di sekitarku datang saat mereka membutuhkan bantuan. Setelahnya, kembali menghilang. Bukankah manusia memang seperti itu? Hanya melakukan apa-apa yang menguntungkan mereka tanpa acuh apa yang ada dalam isi kepala dan hati orang lain.
Aku tersenyum pahit melihat Nadya dan gengnya kembali bertukar peluk. Hari ini, seharusnya aku juga mendapat perlakuan serupa. Seharusnya aku juga merasakan kehangatan seperti yang Nadya alami sekarang. Dari siapa, aku tidak ambil pusing. Bahkan jika ada satu orang saja yang ingin duduk diam bersamaku di bangku taman yang rapuh ini sekarang, aku akan menyambutnya dengan tangan terbuka.
"Lagi ngapain?" sebuah suara bariton menyapu gendang telingaku. Saking depresinya memasuki kepala dua tanpa persiapan dan sambutan berarti dari semesta, sepertinya aku hanya sedang berhalusinasi.
Suara itu kembali terdengar. "Saya mengganggu, ya?" Rasanya seseorang sedang memerhatikanku. Aku menoleh ke kiri, kanan. Aku sendiri. Bulu kudukku mulai meremang, hingga sentuhan di bahu membuatku terlonjak.
Jantungku benar-benar hampir jatuh saat melihat pemilik tangan itu. Lidahku kelu. Mulutku terbuka saking terpukaunya. Rasanya tidak ada lagi Nadya dan geng Barbie-nya di dunia ini, hanya aku dan sosok yang tidak bisa lenyap dari benakku dua bulan belakangan, yang kini sedang tersenyum canggung. "Saya mengganggu, ya?" pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Aku hanya menggeleng--memangnya, di hadapan bidadara surga, aku bisa apa lagi?
"Silakan duduk." Aku bergeser ke kiri untuk memberinya ruang. Menyuguhkan senyum yang aku rasa paling manis, atau mungkin paling aneh menurutnya.
Lelaki yang dua puluh sentimeter lebih tinggi itu mendaratkan tubuhnya tepat dalam jarak rengkuhku. Aku seperti mendengar suara jantung menggedor-gedor dari dalam tubuh. Duh, semoga dia tidak mendengarnya. Ditambah rasanya lututku agak lemas. Dia memerhatikanku tidak, ya? Ah, mengapa aku jadi seaneh ini?
Kawan baruku berdehem. "Tadi lagi ngapain, sih?"
Ngapain apa? Bukannya sejak tadi pagi aku hanya duduk di sini dan merenungi perjalanan hidupku yang tidak cukup berarti? "Yang kamu rentangkan tangan itu," lanjutnya.
Otakku berpikir keras. Rentangkan tangan? Kapan.. Kapan..
Astaga. Tepat saat ia datang, aku sedang menyuarakan pikiran '...aku akan menyambutnya dengan tangan terbuka'. Tangan terbuka. Ternyata, tanpa sadar aku merentangkan tangan. Aku baru saja bersikap konyol dalam pertemuan pertama ini. Malunyaaa. Mengapa perempuan selalu melakukan hal-hal bodoh di depan lelaki keren?
"Aku sedang menghirup udara segar." Jawaban konyol apa lagi itu? Dalam hati aku merutuki Nadya yang tidak hanya mengambil fisik proporsional yang seharusnya jadi milikku, tetapi juga otak cerdas.
Aku tahu lelaki di sisiku menyembunyikan tawa. Namun melihatnya mengulum senyum berdampak semakin buruk pada debarku. Rasanya aku ingin pingsan saja. Atau, mungkin tidak juga. Aku hanya ingin menghentikan waktu.
"Daffa." Tangan itu disodorkan bersama lesung pipit di pipi kanan.
Aku menyambut dengan senang hati. Sangat senang hati. "Ashila."
"Saat kegiatan sosial kampus dua bulan lalu, kamu daftar untuk donor darah, kan? Tapi gak jadi ikut mendonor." Daffa membuka pembicaraan dengan hangat. Aku mengangguk, dalam hati bertanya ia tahu dari mana, ketika benakku memutar memori saat ia bersama kawan PMI dan fakultas kedokterannya melayani kami. Daffa pasti melihatku. Jika benar, wah, aku sangat terharu ia bisa menemukanku di tengah ratusan peserta donor darah.
Walaupun seharusnya dia juga merasa tersanjung sebab, saat itu, aku hanya memusatkan perhatian padanya di antara ratusan mahasiswa berseragam PMI. Aku hanya memerhatikan rautnya yang ramah saat bercakap dengan pendonor. Aku hanya curi-curi pandang padanya saat seorang teman menarikku menjauh. Dan sesekali berlalu di sekitar posnya agar mendapat perhatian. Hahaha, ternyata berhasil!
Walaupun seharusnya dia juga merasa tersanjung sebab, saat itu, aku hanya memusatkan perhatian padanya di antara ratusan mahasiswa berseragam PMI. Aku hanya memerhatikan rautnya yang ramah saat bercakap dengan pendonor. Aku hanya curi-curi pandang padanya saat seorang teman menarikku menjauh. Dan sesekali berlalu di sekitar posnya agar mendapat perhatian. Hahaha, ternyata berhasil!
Aku mengangguk sok polos. "Kok tahu?"
"Hanya kamu peserta yang batal mendonor karena berat badan tidak memenuhi standar." Ia kembali tertawa. Oke. Mungkin penilaianku salah. Dia tidak begitu bersahabat. Aku tak akan terharu lagi dengan perlakuannya.
Aku memandang sekeliling. Mencoba mengalihkan perhatian dari makhluk indah nan mengesalkan di sisiku. Mataku menangkap gerombolan mahasiswa yang kuduga sedang mengucapkan selamat ulang tahun pada Nadya. Ah, andai saja Ashila yang biasa-biasa ini juga memiliki banyak teman sepertinya.
"Ngomong-ngomong, Daffa, kamu ngapain ke sini? Ada urusan, ya?"
Daffa merogoh ransel. Dari tas biru navy-nya keluar cokelat batang dengan tagline 'banyak, sih, tapi rela bagi-bagi?'. Ia menyerahkan cokelat batang itu dan mengunci pandanganku oleh iris matanya yang hitam dan tajam. Angin menyapu anak rambut di dahinya. Saat kembali tersenyum, aku benar-benar terkesima.
"Apa nih?" Aku pura-pura tak acuh. Membolak-balik kemasan cokelat batang. "Narkoba jenis baru?"
Lelaki yang wajahnya mirip Ciccio Manassero ini tergelak. Ah, tawanya adalah lagu paling merdu. Dapatkah Doraemon memberiku hadiah mesin penghenti waktu? Atau mesin pengulang masa lalu? Agar kelak aku bisa kembali ke masa ini saat merindukannya.
"Selamat ulang tahun, Ashila." Daffa menatapku lekat-lekat. Aku semakin salah tingkah. Memasang tampang se-cool yang aku bisa. Namun, akhirnya dahiku mengernyit juga. "Kok tahu?" Aku melipat tangan di dada. "Kita baru bertemu dua kali, itupun jika pertemuan saat donor darah masuk hitungan."
Daffa membalas dengan senyum misterius. "Saat diberitahu kamu tidak memenuhi syarat untuk donor darah, kertas pendaftarannya kamu buang, kan?"
Aku mengangguk. Lalu apa? "Sejak kamu datang, saya sudah memerhatikanmu. Kamu yang pucat tampak mencolok di tengah perempuan dengan pemerah bibir. Saya juga melihat kamu membuang kertas itu. Well, saya mengambilnya." Daffa kembali merogoh tas dan mengeluarkan selembar kertas lecek. "Ini, kan?" Aku tertegun. "Kamu menulis tanggal lahirmu di situ, Ashila."
"Selama dua bulan ini saya berusaha mencari tahu tentangmu dari teman-teman di sini. Saya ingin menemuimu lebih awal, namun jadwal perkuliahan benar-benar tidak mengizinkan saya beristirahat," lanjut Daffa. "Saya rasa memilih hari ini juga tidak buruk." Ia mengakhiri pidatonya dengan senyum yang aku damba sejak dua bulan lalu.
Lelaki ini mungkin tidak tahu, gempa hebat sedang melanda tubuhku. Semua organ bekerja melebihi kapasitasnya; jantung berdegup lebih cepat, mata menahan kedip untuk menatapnya lebih lama, telinga menajamkan pendengaran atas setiap deru napasnya yang berlomba denganku.
Aku benar-benar ingin pingsan.
Selamat tinggal, sepi. Selamat tinggal, hidupku yang penuh kehampaan. Selamat tinggal, Nadya dan kehidupannya yang penuh huru-hara. Pergilah jauh-jauh dengan seribu temanmu, sebab aku hanya butuh satu. Dan orang itu adalah lelaki yang tak henti memandangiku ini.
Ini hanya permulaan. Aku bahkan belum mengenal Daffa, untuk sementara hanya mengagumi fisik dan ketekunannya saat bertugas dua bulan lalu. Tetapi, bolehkah aku meminta padamu, Semesta? Sekali saja kau beri aku kesempatan untuk menikmati dan mempertahankan momen ini. Saat ada orang yang menyadari kehadiranku. Saat ada orang yang memandangku sebagai manusia yang pantas dihargai. Saat ada orang yang menganggapku sebagai bagian penting dalam hidupnya.
Bolehkah aku, Semesta?
Ini kisah nyata, semi-nyata, atau fiktif? Wkwkwk
ReplyDeleteSemifiktif. Silakan tebak sendiri bagian mana yang beneran. :p
Delete