(Prev: Melawan Masa Lalu)
Kami menghempaskan tubuh di sofa empuk di sudut kafe. Kulirik jam tangan pemberian lelaki berambut cepak di hadapanku yang hari ini mengenakan kemeja biru kotak-kotak andalannya. Pukul 23.14. Ah, waktu berlalu begitu cepat jika kita melakukan hal menyenangkan dengan orang terkasih.
Kami menghempaskan tubuh di sofa empuk di sudut kafe. Kulirik jam tangan pemberian lelaki berambut cepak di hadapanku yang hari ini mengenakan kemeja biru kotak-kotak andalannya. Pukul 23.14. Ah, waktu berlalu begitu cepat jika kita melakukan hal menyenangkan dengan orang terkasih.
Karena mendapat posisi terbaik untuk memandangi isi kafe dengan bebas, aku memanfaatkan kesempatan itu dengan menyapukan pandangan pada hiasan-hiasan dinding berupa potret pengunjung dari kamera polaroid yang dideret rapi, tiruan berbagai jenis ice cream yang tergantung pada langit-langit, lampu-lampu dengan bentuk yang aneh, dan pohon kertas yang berisi testimoni pengunjung. Saat memerhatikan bangku-bangku, aku baru menyadari Yummeah Ice Cream yang buka 24 jam dan setiap Sabtu malam ramai oleh remaja kini tampak sepi. Ya, memang, besok hari Senin, mungkin mereka sedang lelap di kamar bersiap menyambut upacara bendera.
Aku memejamkan mata sejenak. Merilekskan diri sendiri dari lelah yang baru terasa setelah bertualang keliling kota seharian.
"Kamu senang gak hari ini?"
Ketika aku membuka mata, lelaki itu, Al, menatapku lekat-lekat. Aku tertegun. Di waktu yang berbeda, jika saja ia menatapku dengan bibir yang tak menyunggingkan senyum seperti itu, aku akan menjawil hidungnya dan menyandarkan kepala pada dadanya yang bidang. Tetapi, senyum tipis yang saat ini menggantung di bibirnya membuat perasaanku tak enak. Wajahnya akan menampilkan ekspresi seperti itu jika ingin membicarakan sesuatu yang cukup buruk, khususnya bagi hubungan kami yang dua bulan terakhir merenggang.
Demi menjawab pertanyaannya, aku hanya mengangguk dan memaksakan cengiran lebar. Senyum miliknya membuat euforia liburan singkat yang baru saja kami lakukan seakan terbang tak bersisa. Aku berusaha menebak-nebak kali ini apa gerangan yang membuatnya memberiku wajah seperti itu. Apakah tentang... tidak, terlalu banyak berprasangka hanya akan membuatku semakin lelah.
Al kembali membuka mulut. "Saya mau ngomong sesuatu."
Seorang waitress dengan seragam hijau tosca lengkap dengan atribut ice cream-nya menghampiri kami dengan senyum yang lebih baik daripada milik Al. Menanyakan pesanan. Dua cokelat panas masing-masing dengan dua sendok gula, kataku. Tidak pahit, tak pula terlalu manis.
Hening menguasai kami hingga pesanan datang. Berterima kasih. Aku kembali menatap Al. Kembali disergap perasaan tak menyenangkan. "Ngomong apa, sih? Serius amat."
Al kembali membuka mulut. "Saya mau ngomong sesuatu."
Seorang waitress dengan seragam hijau tosca lengkap dengan atribut ice cream-nya menghampiri kami dengan senyum yang lebih baik daripada milik Al. Menanyakan pesanan. Dua cokelat panas masing-masing dengan dua sendok gula, kataku. Tidak pahit, tak pula terlalu manis.
Hening menguasai kami hingga pesanan datang. Berterima kasih. Aku kembali menatap Al. Kembali disergap perasaan tak menyenangkan. "Ngomong apa, sih? Serius amat."
"Saya mau jujur sama kamu, Sa," kata Al seperti berbisik.
Aku menopang dagu dengan tangan kiri, sedangkan tanganku yang lain sibuk meremas ujung sofa kalau-kalau hal yang dibicarakan Al saat ini membuatku ambruk. "Langsung ngomong aja, Al, jangan bikin penasaran, ah."
Al menghindari kontak mata denganku. Hatiku mencelos, seketika paham apa yang ingin dibicarakannya. Sesuatu yang kami perdebatkan namun tak menemukan solusi selama dua bulan belakangan.
"Saya sudah berusaha keras untuk menghilangkan pikiran dan perasaan saya ke dia. Tapi gak tau kenapa rasanya sulit sekali. Saya mencoba untuk gak berkomunikasi sama dia, tapi semua rasa itu masih sama," Al menjelaskan. "Walau begitu, Sa, kamu harus tau saya juga berusaha untuk tetap memperjuangkan hubungan kita."
Aku bilang juga apa.
Rasanya mataku memanas. Aku pun ingin terbahak. Mungkin menertawakan diri sendiri hingga air mataku keluar dan mengalir seperti sungai akan membuatku lebih baik. Ya, aku bisa mencobanya saat tiba di rumah.
Saat ini aku hanya bisa menatap Al. Lidahku kelu. Luka yang telah digoresnya di hatiku seakan menganga semakin lebar. Berdarah, bernanah. Kenangan kelam yang tersimpan rapi di dalamnya tumpah-ruah.
"Maafin aku, Sa." Dari mata Al, aku pun tahu ia terluka. Memiliki rasa yang sebegitu kacau dan membingungkan pasti tak mudah. Menginginkan dua orang berbeda dalam waktu yang sama, pun hal yang tak mungkin dilakukannya. Dia harus memilih. Dan, sayangnya, pilihan itu tak jatuh padaku.
Aku menarik napas. Mengumpulkan kata-kata. Berbicara di hadapan seseorang tak pernah menguras emosi seperti ini. "Gak usah khawatir, Al," kataku. Entahlah, napasku putus-putus. "Sejak awal aku tau gak akan pernah menjadi pemenang dari pertarungan Melawan Masa Lalu. Just go, fight for her. I'm happy for you."
Of course she's gonna say she's happy for you and fake a smile. But look into those eyes. You broke her.
You.
Broke.
Me.
No comments:
Post a Comment