10/7/14

SLT 2014

Hae.

Dua minggu lalu saya dan teman-teman seangkatan baru saja mengikuti kegiatan SLT (Studi Lapangan Terpadu) 2014, mengunjungi kabupaten Jeneponto, tepatnya Desa Loka.

Kami berangkat pada siang hari dengan pemberhentian awal sebuah masjid di daerah Limbung untuk jumatan. Kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke kabupaten Takalar dan makan siang di rumah keluarga salah seorang guru. Halaman rumahnya adem dan asik buat jadi tempat nongkrong. Pun terdapat satu saung yang cukup besar yang disesaki kawan dan guru untuk bertukar tawa. Dada saya menghangat merasakan jarak usia yang sepertinya mulai terlupakan. Guru, siswa, kami berbaur, berbagi kisah layaknya kawan lama yang baru bertemu. Walaupun di sekolah tidak sedikit guru yang berjiwa muda, tetapi mendapati guru yang kerap mendapat gelar killer tertawa bersama kami merupakan pengalaman istimewa.

Setelahnya, kami bergegas menuju kabupaten Jeneponto dan mendapat sambutan yang hangat dari Bapak Bupati dan jajarannya. Di kantor bupatilah kami mengganti kendaraan, dari bus besar menjadi beberapa mobil dengan ukuran lebih kecil, sebab jalanan menuju desa tujuan cukup sulit dilalui.

Desa Loka terletak di kecamatan Rumbia dan punya pemandangan yang keren banget. Mayoritas penduduknya memperoleh nafkah dari berjualan hasil kebun. Jadi jangan heran kalau kalian masuk ke desa ini dan menemukan berbagai jenis kebun dengan macam-macam tumbuhan yang subur.

Desa Loka ini tenang banget. Yang paling saya suka adalah warga desa yang ramah dan senang melempar senyum.

SLT sendiri adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Tujuannya, selain untuk praktik lapangan demi memenuhi persyaratan untuk ikut dalam ujian akhir nanti, guru-guru pun berharap kami dapat merasakan perbedaan suasana kehidupan di kota--dan kericuhannya--yang selama ini kami jalani, dengan kehidupan desa yang sederhana dan damai tanpa huru-hara.

Senja pertama di Desa Loka

Pertama kali tiba di Desa Loka, dingin segera menyelinap ke dalam jaket saya. Saya melompat-lompat kecil, kebiasaan aneh jika tak lagi mampu menghadapi gigil. Seorang guru kemudian menyuruh kami untuk berkumpul. Saya merapat ke kerumunan dengan menyeret kaki yang seperti mati rasa oleh dingin sebab hanya menggunakan sandal jepit. Oleh bapak guru, kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan diarahkan menuju rumah yang akan kami tinggali selama tiga hari ke depan. Diberkahilah keluarga Bu Risma yang akan direpotkan oleh saya dan delapan kawan lain.

Mari saya jelaskan sedikit tentang lokasi rumah saya. Scive terbagi menjadi tiga rumah yang terletak di jalan menurun yang cukup curam. Dua rumah untuk putri yang terdiri dari masing-masing 9 orang, dan rumah untuk putra (sebut saja LOTS) yang berjumlah 13 orang. Bu Risma--dan saya--tinggal di tengah kedua rumah tersebut.

Ada hal menegangkan yang terjadi saat saya pertama kali menjejakkan kaki di rumah Bu Risma. Akibat kedinginan, saya dan beberapa teman mendadak diserang virus pengin ke toilet. Saya dan Sasa menunggu giliran dengan ber-"sshhh... dingin" sambil memandang sekeliling yang hanya disinari lampu kuning kecil. Ruangan ini terbagi atas toilet, tempat cuci piring, dan tempat kompor berbahan bakar kayu yang masing-masing dibatasi dengan sebuah papan tipis. Saya mencoba mengintip area kompor ketika sebuah wajah tiba-tiba menyembul. Rambut putihnya menjuntai menutupi sebagian wajah. Bibirnya menyeringai. Saya dan Sasa terlonjak kaget. Kami bertukar tatap, seolah salah satu dari kami dapat memberi penjelasan atas apa yang baru saja kami lihat. Saat kembali menatap ke arah sosok itu, tak terlihat apa pun. Kami lekas memuaskan hasrat ingin buang air, membasuh wajah dengan air yang berasa seperti batu es, dan berlomba-lomba menuju keramaian.

Setelah meredakan degup jantung yang kian memburu, meletakkan tas sembarangan dan perkenalan singkat dengan tuan rumah, kami berkumpul di rumah putri Scive yang lain. Sambil tetap bertanya-tanya siapa atau apa yang saya lihat tadi.

Malam itu, angin berembus semakin kencang. Gigil menusuk hingga ke sumsum tulang. Saya merapatkan jaket sampai yakin tak ada celah yang bisa ditembus dingin. Bibir dan kulit terasa amat kering. Saya kesulitan bernapas karena terpaan angin yang kian dahsyat. Bayangkan betapa dinginnya desa ini; saya sudah bolak-balik dari rumah kepala desa yang terletak di puncak beberapa kali tapi tak ada sebutir keringat pun bergulir di pelipis.

Rumah bercat cokelat tua tempat Scive berkumpul malam itu cukup luas untuk menampung kami yang berjumlah 31 orang. Kami bertukar cerita tentang perjalanan ke Loka, tentang hal-hal baru yang kami lihat, tentang kebiasaan berbeda yang kami temukan. Jeprat, jepret. Mencicipi penganan yang disediakan oleh tuan rumah. Dan tentu saja tawa tak pernah hilang. Pukul 10-an, kami kembali ke rumah masing-masing, melanjutkan perkenalan hangat dengan tuan rumah masing-masing.

"Qiv, lihat nenek-nenek tadi gak?" bisik Sasa. Saya menggeleng. Ingatan tentang sosok di dapur kembali menyergap. Bulu kuduk saya meremang. Saya masih memikirkannya hingga jatuh terlelap di atas lantai papan berlapis kain tipis.

-

Keesokan paginya, saya akhirnya menemukan jawaban mengenai siapa sosok di toilet semalam. Beliau adalah ibunda Bu Risma yang telah menginjak usia 90-an tahun. Saya sempat berbincang dengan terbata-bata karena beliau tidak mampu berbahasa Indonesia (jadilah saya yang harus memutar otak untuk menemukan kosa kata bahasa Makassar). Setelah menikmati sisa-sisa angin malam yang masih saja menusuk kulit dengan berjalan-jalan di sekitar dan merasakan guyuran 'batu es' Loka, kami mengikuti guru pemandu masing-masing pelajaran untuk menuju area praktikum. Saya yang seharusnya menjadi anggota kelompok fisika kehilangan sekawanan saya. Akhirnya setelah memohon izin, saya bergabung di kelompok biologi bersama LOTS.

Petualangan dimulai setelah penelitian usai. Kami menuju tempat yang tidak pernah disebutkan dalam jadwal selama berada di Desa Loka. Menyusuri jalanan menurun, menyapa warga, bertanya basa-basi apakah ada sungai di sekitar sini. Senyum merekah ketika bapak yang ditanyai mengangguk dan menunjukkan arah menuju sungai kecil di tengah hutan (dan diperingatkan untuk hati-hati terhadap babi hutan).

Kami tiba di sebuah sungai yang dikelilingi bebatuan raksasa. Terdapat jembatan bambu yang rapuh sehingga untuk menyeberang kami harus melakukannya satu per satu. Tak puas hanya tiba di sungai, LOTS ingin melihat puncak dari gunung atau bukit atau apa pun dari jalan yang menanjak di seberang sungai. Setelah memastikan tiga perempuan dalam rombongan mampu berjalan lebih jauh, kami pun mendaki. Setelah memanjat, terjatuh, menyeret tubuh, diusik daun-daun pepohonan, akhirnya kami tiba di tempat ini.


Petualangan ini berlangsung di siang hari dan tidak berhenti sampai di situ. Sekitar pukul 4 sore, Scive bertualang mencari pemandangan lain. Atas rekomendasi dari suami Bu Risma, kami menuju air terjun didampingi oleh anak beliau. Perjalanan menuju tempat ini jauh lebih rumit. Ada saatnya kami harus berjalan di atas tebing panjang tanpa mampu menggapai apa pun, yang jika melirik ke samping kau seperti melihat kematian. Di bawah sana hanya ada pohon lebat berjarak belasan meter dari tempat kami berdiri. Kami juga perlu menyeberang dengan cara memeluk pohon dan melompati celah kecil menuju 'kematian' agar tiba di seberang dengan selamat.

Inilah air terjun mini temuan kami. Tidak bersih-bersih amat sih, tapi juga tidak terlihat sampah bekas konsumsi manusia, hanya dikelilingi daun-daun kering yang berguguran.


Aril dan Budi sedang menikmati permainan masa kecil kami
(khususnya bagi kaum lelaki). Ban dan tongkat itu mereka dapatkan
dari bocah-bocah yang berkeliaran.
-

Pada hari terakhir di Jeneponto, pihak sekolah berniat membawa kami ke tempat wisata khas Loka. Tapi, Scive selalu memiliki rencana lain. Kami tidak mengikuti rombongan dan malah menuju perkebunan warga, lalu ke arah sungai yang saya dan LOTS datangi kemarin. Beberapa melanjutkan ke rute pendakian, sisanya nongkrong di jembatan.

Tepat pukul 11 siang, kami meninggalkan Desa Loka, melalui rute keberangkatan untuk kembali ke Makassar. Menghadapi udara panas dan terik matahari yang menyengat. Menuju rutinitas yang monoton dan membosankan di sekolah. Mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian tengah semester, ujian akhir sekolah, ujian nasional, ujian masuk PTN, ujian hidup.

Ujian.

Ujian.

Ujian....

No comments:

Post a Comment