4/1/14

Surat untuk Mantan


Selamat sore, kesayangan.

Kau pasti tahu aku sedang duduk di bebatuan tempat kita biasa menuntaskan rindu, menorehkan tinta di atas kertas putih untuk kemudian kulipat menjadi perahu. Membiarkannya mengalir menuju kau; entah di mana.

Aku melempar pandangan pada hamparan laut yang memantulkan warna kesukaanmu; biru langit. Menikmati debur ombak, merasa tentram saat mendengar percikan air yang saling berbenturan, atau menabrak karang. Aku selalu senang saat percikan-percikan itu menggelitik kakiku. Dulu, saat melihatku tertawa riang karenanya, kau akan mengacak-acak puncak kepalaku, menariknya untuk jatuh di bahumu.

Benakku melayang bebas, menembus waktu. Membangkitkan memori tentang kasih tak terbatas. Tentang janji-janji tak berwujud. Tentang kisah penuh sendu. Aku mengembuskan napas pelan. Di tempat ini, berdua, kita pernah merajut janji-janji masa depan yang rasanya begitu indah. Cita-cita yang akan kita capai dengan saling mendukung. Kalimat-kalimat rindu. Tatapan penuh kasih. Jemari bertautan, saling mengisi celah masing-masing kita.

Kata kita, kala itu, kita hanya akan berpisah oleh kematian.

Dan bagian paling menyedihkan, ucapan kita berwujud nyata dalam waktu singkat. Di tempat yang sama dengan tempatku kini mengenangmu. Kau hanyut oleh debur ombak yang sama, yang kita nikmati hampir setiap hari. Berhari-hari tak diketahui kabarnya; berhari-hari aku tenggelam dalam perih yang mendalam. Aku tak ingin memercayai ucapan orang-orang bahwa kau telah tiada. Tetapi, satu minggu pencarianmu tak membuahkan hasil apa pun. Aku berderai air mata. Tangisku tumpah, bulirnya hanyut oleh debur ombak yang sama. Aku hancur. Kehampaan menyelimutiku berhari-hari. Bahkan hingga hari ini, dua bulan setelah ketiadaanmu.

Sejak saat itu, aku masih selalu menghabiskan waktuku di tempat ini. Sendiri, tanpa sesiapa, aku merasa tempat ini hanya milik kita. Mengenangmu. Mengenang kita. Berkisah tentang keseharianku padamu--atau pada laut, aku tak tahu. Tak peduli kau tak akan menyahut. Tak peduli aku akan dianggap gila. Kau pernah mengajariku bagaimana menikmati sebuah keindahan rasa dengan melenyapkan energi negatif. Maka, aku pun mengamalkannya pada laut. Aku tak pernah membenci laut yang membawamu pergi; karena aku tahu, kini kau menjadi bagian darinya.

Baik-baiklah di sana, Sayang. Jangan biarkan binatang laut mengganggumu. Walau ragamu tak lagi di sisi, kasihku tetap setia kepadamu, wahai tuan bagi rindu-rinduku.

Dariku,
Gadis yang tak kenal lelah mendoakanmu


ps: tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara.

1 comment: