Baru satu bulan berlalu setelah Indonesia kembali melaksanakan pemilihan umum untuk menentukan pemimpin negeri ini lima tahun ke depan. Selama ini saya menganggap pemilu Indonesia hanya sebuah upaya pura-pura pemerintah menjalankan demokrasi. Ketika hukum hanya mengenal mereka yang tidak berduit, lidah mereka yang mengatakan kebenaran dipotong, hilangnya rasa aman dalam berkeyakinan, maka demokrasi hanyalah imaji. Namun, setelah membaca, menyimak, dan mengikuti diskusi sana-sini sebelum penyelenggaraan pemilu, saya menentukan pilihan dan memutuskan memberikan suara untuk kali pertama. Siapa pun yang terpilih, harap saya waktu itu, semoga tidak habis ditelan oleh sistem dan tetap tegak menjalankan konstitusi negara.
Courtesy of tpi.it. |
Saya kira euforia pemilu hanya akan berlangsung beberapa minggu, ternyata tidak. Pada akhirnya ada perasaan bosan ketika ke mana pun saya pergi, orang-orang membicarakan topik yang sama: politik dan pemilu. Bahkan beberapa waktu lalu terjadi demonstrasi besar-besaran di ibukota yang memprotes hasil pilpres. Bukannya saya antipati, malah saya masih mengikuti informasi-informasi terbaru tentang pilpres kali ini dengan membaca kanal-kanal berita di dunia maya, hanya saja saya merasa jengah untuk berbicara dan mendengar orang-orang berdebat mengenai hal ini apalagi jika sampai saling menjatuhkan dan merasa paling benar.
Ketika sore atau malam hari pulang ke rumah, saya berharap bisa beristirahat dengan membaca buku atau menonton serial tv tanpa gangguan, tapi di dalam rumah obrolan tentang pemilu lebih nyaring. Sayangnya saya tidak punya hak untuk mengatur mulut orang-orang agar berbicara seperti apa yang saya inginkan, terlebih orang-orang tersebut lebih tua dari saya. Jadi mungkin saya hanya ingin tidur dan terbangun ketika perbincangan pemilu ini telah selesai.
No comments:
Post a Comment