Nasihat itu menjadi salah satu yang paling sulit untuk saya aminkan. Menerima dapat berarti menyetujui suatu perbuatan. Menerima bisa berarti dengan tangan terbuka menyambut keadaan. Menerima berarti tidak mengingkari, tanpa menghakimi.
Menuju proses penerimaan memang tidak dapat begitu saja berjalan. Sebab kelak tidak ada lagi penyangkalan. Mendobrak segala batasan. Tidak ada lagi pengecualian.
Itulah mengapa menerima sesuatu, atau seseorang, secara apa adanya tidak pernah mudah. Terkadang harus melalui perdebatan-perdebatan, negosiasi panjang, meninggikan toleransi, dan yang terberat tentu saja meredam ego. Bahkan jika itu adalah diri sendiri, karena tidak akan habis orang yang berpendapat kalau ada yang salah dengan diri kita, meskipun kita merasa sudah mengupayakan kemampuan terbaik. Perlahan membunuh rasa percaya, lantas melahirkan kecemasan-kecemasan.
Penerimaan selalu menjadi perhatian karena manusia gemar melakukan penolakan terhadap kenyataan dan memaksakan social script mereka terhadap sesuatu, dan tentunya disertai dengan argumentasi-argumentasi yang, kalau tidak terdengar konyol, ya hanya relatif secara personal.
Salah satu yang kerap terjadi di lingkungan saya adalah perbuatan sengaja melakukan pendekatan terhadap seseorang yang dipandang 'salah' dan perbuatannya 'tidak dapat diterima' dengan misi terselubung 'mengembalikan dia ke jalan yang benar'. Atau, kasus yang juga banyak terjadi adalah percobaan mengubah kebiasaan pasangan sesuai keinginannya.
Misalnya saja, salah satu kenalan saya beberapa waktu lalu memutuskan untuk berpacaran dengan seorang laki-laki yang kebiasaannya bertolak belakang. Kenalan saya akan digolongkan society sebagai anak alim. Mulutnya mungkin tidak pernah digunakan untuk hal-hal aneh selain makan, menguap, mengaji, dan nggosip sesekali. Sementara pasangan terbarunya adaah versi kebalikan 180º, if you know what I mean.
Tidak apa, sebenarnya, adalah hak baginya untuk menjalin hubungan romansa dengan siapa pun. Namun, saya jadi tergelitik ketika dia mengatakan hal yang intinya kurang lebih begini: "Gue percaya kalau dia sama gue, nanti dia bakal bisa tobat, kok."
And I tried my best not to roll my eyes.
Sangat sulit bagi saya untuk menahan diri dari komentar, "Lah elu siape?" Kenalan saya ini cenderung memuja imajinasinya sendiri dibandingkan menghadapi realita yang ada di depannya. Seolah dia memiliki fantasi pribadi tentang bagaimana pacarnya harus bersikap dan bagaimana dia memiliki target kalau selama mereka bersama, si pasangan ini perlu ditransformasi agar sesuai harapan, ekspektasi, dan keinginan dia. I am not saying that it's wrong to set up "My Ideal Partner" standards, but to impose them on somebody else is another matter. Kamu ini mau cari pasangan atau mencetak kader parpol, sih?
I guess, my stand is that you do not change people. They change themselves. Sure you can be a catalyst, but it's never up to you. It is up to them.
Penting bagi kita untuk belajar menerima bahwa seseorang mungkin tidak akan pernah berubah seumur hidupnya, alias gitu-gitu aja, atau justru berubah ke arah yang tidak sesuai dengan pola pandangan yang kita setujui. Bukan masalah besar, kok. For God's sake, unless you are Coldplay or Chris Martin, don't think that you exist to 'fix' people. Kecuali jika perilakunya merugikan orang lain apalagi masyarakat umum, seperti doyan unjuk rasa sambil bakar ban dan menimbulkan kemacetan, hobi memicu huru-hara, atau bahkan maling jemuran. Kalau yang seperti itu memang perlu diarahkan. Ingat, kan, bahwa hak kita masing-masing dibatasi oleh hak orang lain juga?
Maka menurut saya, di luar hal-hal yang merugikan sesama, saya pikir manusia tidak berhak memaksakan pemikiran atau standar hidup pribadi kepada pihak lain. Jika memang berseberangan, tidak sepaham, tidak seprinsip, ya sudah. Merasa tidak bisa berdampingan dalam perbedaan? Silakan cari saja yang memang sama sejak awal.
Namun, memang selalu lebih bijak jika mampu lebih dulu mendengarkan. Mungkin saja banyak hal masih bisa didiskusikan untuk ke depannya menciptakan keharmonisan. Karena beberapa orang akan memilih mematahkan aturan yang dibuatnya sendiri sebagai usaha memperjuangkan.
We still have a lot to learn about acceptance.
Maka menurut saya, di luar hal-hal yang merugikan sesama, saya pikir manusia tidak berhak memaksakan pemikiran atau standar hidup pribadi kepada pihak lain. Jika memang berseberangan, tidak sepaham, tidak seprinsip, ya sudah. Merasa tidak bisa berdampingan dalam perbedaan? Silakan cari saja yang memang sama sejak awal.
Namun, memang selalu lebih bijak jika mampu lebih dulu mendengarkan. Mungkin saja banyak hal masih bisa didiskusikan untuk ke depannya menciptakan keharmonisan. Karena beberapa orang akan memilih mematahkan aturan yang dibuatnya sendiri sebagai usaha memperjuangkan.
We still have a lot to learn about acceptance.
No comments:
Post a Comment