7/17/18

Ibu? (Bekerja) di Rumah Saja!

Menjadi mahasiswa semester tanggung mengantarkan saya dan teman-teman ke diskusi ringan seputar kehidupan pasca kuliah. Penatnya suasana di posko KKN rupanya tidak menjadi penghalang untuk kami memupuk angan akan melangkah ke mana setelah fase panjang ini berakhir. Semangat yang diliputi kecemasan tergambar jelas dari arah percakapan kami yang kian melantur. Komentar terus mengalir, seolah benar paham apa yang terbaik bagi diri dan kawan kami.


"Anak perempuan sebenarnya gak perlu bekerja dan nyari nafkah. Setelah kuliah, menikah saja, biar suami yang menghidupi," ujar dia yang sudah menikah sebelum masa KKN.

"Sepertinya profesi tertentu gak cocok untuk perempuan, soalnya akan sibuk dan bakal sulit mengatur waktu untuk membangun karier dan mengurus rumah tangga," tambah teman saya yang setiap saat (literally setiap saat) harus melaporkan aktivitasnya kepada pasangan di ujung telepon, lengkap dengan penjelasan sedang bersama siapa.

"Kamu gak keberatan kalau tetap bekerja setelah menikah dan punya anak, kamu gak bisa secara langsung menikmati tumbuh kembang anak-anak kamu?" pertanyaan dari yang menghabiskan kegabutan dengan stalking Xabiru.

Beberapa celetukan mereka rupanya membuat saya berpikir dan berakhir di sini. Apa yang salah dari menjadi seorang ibu yang bekerja?

Tumbuh bersama kedua orangtua yang tidak selalu berada di rumah sebenarnya sudah membuat saya terbiasa menghadapi pertanyaan-pertanyaan bernada sama. Sejak kecil orang-orang kerap menyoroti keberadaan Mama yang menghabiskan waktu dan membangun karier di gedung kantor. Saya bermain dari rumah sanak saudara ke rumah sanak saudara yang lain, ditimang bergantian, bahkan oleh orang-orang yang saat ini tidak saya kenali karena tidak pernah berjumpa selepas masa kanak-kanak. Tidak jarang tante mengaku kalau dulu saya menangis lebih kencang jika tidak merasakan kehadirannya, ketimbang tidak menyadari kehadiran Mama.

Toh pada akhirnya saya terbiasa. Saya tidak perlu khawatir Mama akan kebosanan di depan sekolah menunggu saya pulang, seperti orangtua teman saya yang lain. Bukan masalah besar jika Mama tidak mendampingi saat akan mengambil rapor di penghujung semester, saya bisa meminta bantuan orangtua teman saya yang tidak berada di kelas yang sama. Saya tidak keberatan kalau harus menghabiskan waktu dan makan siang di luar rumah karena tahu rumah saya masih kosong dan tidak ada makanan yang tersedia di meja.


Menghabiskan waktu dengan Mama yang tidak setiap saat berada di sisi tidak membuat saya merasa diabaikan dan menganggap Mama bukan ibu yang baik. Ketidakhadiran beliau dalam beberapa momen tidak mengurangi ikatan ibu dan anak di antara kami.

Hubungan saya dan Mama tidak dibangun dari intensitas pertemuan yang tinggi, tetapi pemahaman satu sama lain. Saya melakukan apa pun yang menunjukkan penghargaan setinggi-tingginya kepada beliau yang telah menyayangi dan berjuang sedemikian jauh, dan Mama tidak pernah memberi batasan bagaimana saya harus memilih dan menjalani kehidupan, serandom apa pun pilihan itu. Hingga saat ini waktu bertatap muka dengan Mama menjadi sebegitu menyenangkan karena saya bisa bercerita apa saja tanpa perlu takut akan dipandang sebelah mata, dan tidak perlu khawatir kasih sayangnya akan berkurang.

Saya tiba pada satu titik yang menyadarkan bahwa tidak ada yang lebih baik maupun lebih buruk dari ibu rumah tangga ataupun ibu yang bekerja, sebab keduanya adalah keputusan besar yang diambil dengan kesadaran atas konsekuensi bersama pengorbanannya masing-masing. Lagi pula, ada nilai-nilai yang dapat dirasakan dari kehadiran Mama yang tidak selalu bisa saya nikmati, bagaimana sejak kecil beradaptasi dengan orang-orang dari lingkungan berbeda, bagaimana saya terlatih untuk berdiri sendiri, atau menerima dan menghadapi keputusan-keputusan yang harus diambil tanpa menunggu persetujuan Mama.

Saya hanya khawatir satu hal: kelak mempunyai anak seperti saya, sementara hati saya tidak seluas milik Mama.

In the end, a mom is a mom. Nothing could make her less.

No comments:

Post a Comment