![]() |
Courtesy of Pinterest |
Satu tahun dua bulan bukan waktu yang sebentar. Bagiku yang mudah bosan saat menjalin kasih, hubungan kita adalah prestasi yang patut aku banggakan. Bagaimana tidak, pesonamu benar-benar memabukkan. Debarku selalu membisikkan namamu sejak kali pertama kita saling menjatuhkan pandangan. Hingga tanpa sadar, seiring putaran waktu, aku jatuh terlalu dalam; terjerembab, dalam duniamu yang tak lagi ada aku.
Ya, Sayang. Kita--kau, tepatnya--mengalami banyak sekali perubahan yang baru belakangan kusadari. Kau bukan lagi lelaki yang mencintaiku. Aku mengetahuinya saat mencoba mengunci tatapanmu padaku tempo hari. Kau berkali-kali membuang wajah. Pengabaianmu terus berlanjut hingga hari-hari berikutnya.
Kau tahu, Sayang, tak ada yang lebih menyakitkan daripada dijauhi tanpa alasan.
Menatapmu saat menggiring bola di lapangan seperti ini tak ayal membuat benakku memutar kembali masa-masa menyenangkan antara aku dan lelakiku--kau di waktu lampau; kau yang sekarang sudah terlalu berbeda.
Lelakiku dulu akan dengan senang hati beradu tatap denganku tanpa berucap apa-apa, seakan kami dapat saling membaca isi hati dan pikiran hanya dengan bertemu pandang.
Lelakiku dulu akan tak akan lelah menjawil hidungku seraya tertawa. Kemudian ia akan melontarkan lelucon jayus yang ia buat sendiri, lantas berujar, "Kalau aku lucu gini kamu ngerasa terpesona banget nggak, sih?" dan aku akan menjitaknya sepenuh hati. Bahagiaku memang sesederhana itu.
Lelakiku dulu selalu melempar senyum saat menatapku dari kejauhan. Lelakiku dulu tak bosan menggenggam tanganku saat kami berjalan beriringan. Lelakiku dulu mencurahkan seluruh perhatian dan kasihnya hanya kepada satu perempuan lugu; aku. Lelakiku dulu tak pernah melakukan pengabaian. Lelakiku dulu...
Kau menghampiriku dengan sorot mata jengah. Aku memasang senyum (yang kuanggap) paling memesona.
"Hai!" suaraku sengaja aku buat seceria mungkin. Siapa tahu bisa memperbaiki suasana hatimu menjadi lebih baik?
Kau mengambil handuk dan sebotol air mineral di tanganku dengan kasar, lantas menatapku malas-malasan dan berlalu. Kedua kaki membawamu menuju seorang gadis yang belakangan tampak sering duduk di tepi lapangan basket sambil memilin-milin rambut ikalnya yang indah.
Tunggu dulu. Apa pengabaianmu ini... karena... dia?
Krek...
Hei. Kau dengarkah suara itu?
Hatiku baru saja patah.
No comments:
Post a Comment