Banyak hal indah memang hanya berlangsung sementara.
Seperti kebersamaan kita.
Berawal dari kau yang selalu lalai dalam hal mencatat tugas sekolah, menjadikan bukuku sebagai korban peminjamanmu.
Kita mulai sering bertukar pesan. Bercerita tentang apa saja. Walau saat berada di sekitarmu, menatapmu pun aku tak berani. Debam-debam di dalam dadaku terdengar lebih nyaring daripada bisikan hati kecil yang memintaku menyapamu.
Walau begitu, seiring berjalannya waktu, tampak rasa malu untuk saling bertegur sapa di antara kita mulai memudar. Kau dan aku semakin sering menghabiskan waktu bersama, berdua. Bersenda gurau. Berbagi tawa, pun kesedihan. Kau mengenalkanku pada dunia asing yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Dunia yang indah, bagai melihat taman yang teramat luas dengan jutaan kupu-kupu bersayap indah yang menari-nari di sekelilingnya. Dunia di mana aku hanya melihat kau dan senyumanmu, kau dan wajah merengutmu, kau dan kemampuanmu menarik perhatianku, kau dan hatiku yang tanpa kusadari jatuh, olehmu.
Ya. Hatiku terjatuh, dan kau dengan sigap menangkapnya. Merengkuhnya kian erat seolah tak ingin kehilangan, membuat hari-hari yang kulalui tampak semakin indah setelah ada kau di sisiku. Nyaman dan bahagia yang kurasakan saat menikmati waktu yang berlalu bersamamu tak dapat terganti oleh sesuatu apa pun.
Namun, banyak hal indah memang hanya berlangsung sementara.
Seperti kebersamaan kita.
Tiga bulan kebersamaan kita berakhir muram. Aku, dengan alasan yang juga tak kumengerti, memilih mengakhiri hubungan kita yang begitu indah. Dan kau tak mundur begitu saja. Kau terus mencecarku dengan rentetan pertanyaan bermakna sama: meminta penjelasan. Begitu terus hingga empat bulan selanjutnya, membuat hatiku kembali terusik oleh ketulusanmu.
Kebersamaan yang untuk kedua kalinya terjalin di antara kita juga tak berlangsung lama. Kali ini alasan berakhirnya 'kita' tak sedikit pun buram, nampak jelas di permukaan, sebagaimana dampak fatal yang ditimbulkan dalam hubungan kita. Ya, restu orang tua. Kita terhalang olehnya. Oh Ibu, seandainya kau dapat mendengar tangisan lirih hatiku. Hatiku benar-benar teriris mendengar ungkapan Ibu yang tak menginginkan kebersamaan kita. Menghasilkan sungai kecil di pelupuk mata, dan bulir-bulir airnya yang menyedihkan menghempas tanah.
Tak usah membantah, ujar Ibu ketika aku meminta beliau untuk memikirkan kembali keputusannya yang ingin memisahkan kita. Sekian lama kita berjuang untuk menaklukkan hati Ibu, tak membuahkan hasil. Aku menyerah, tak ingin terus-menerus membantah perintah Ibu karena bagaimana pun beliaulah yang selama ini merawatku. Dengan berat hati, kuputuskan untuk menjauh darimu. Kulakukan segala cara agar kau tak lagi menghubungiku. Cara yang aku sendiri menggagalkannya karena tak sanggup terlalu lama tak mendengar kabarmu.
Hubungan kita mulai tak jelas. Tak bisa disebut sekadar berteman, karena segala hal yang kita perbincangkan, cara kita bercengkrama, serta cara kita bertukar pandang, seperti cara sepasang kekasih yang sering menghabiskan waktu berdua di atas fly over sana. Perbedaan hanya terletak pada jemari mereka yang bertautan, sedangkan kita tidak. Hubungan kita juga tak bisa disebut lebih dari teman, karena tak sekali pun aku mengizinkan diriku kembali menjalin kasih denganmu setelah mendengar pernyataan pahit Ibu, walau kau berkali-kali memintanya. Namun, lambat laun kita menikmati hubungan yang seperti ini. Tak terikat, tapi aku tahu kau akan selalu ada untukku, pun aku yang akan selalu hadir untukmu.
Namun, sekali lagi, banyak hal indah memang hanya berlangsung sementara.
Seperti kebersamaan kita.
Takdir tampak benar-benar tak ingin mempersatukan kita. Tak cukup hanya dengan memisahkan kita melalui restu yang tak tergenggam dari Ibu, aku harus pindah ke kota lain bersama keluargaku, meninggalkanmu. Entah bagaimana bentuk hatiku saat Ayah menyatakan keputusannya itu. Di satu sisi aku senang mendengar kabar bahwa karier Ayah kian meningkat, di sisi lain aku teramat sedih karena mau tak mau aku harus benar-benar berpisah denganmu. Oh, sungguh aku tak ingin berpisah denganmu.
Tapi, siapalah aku bisa menghalau kehendak Ayah.
Aku benar-benar tak lagi berada di kota yang sama denganmu. Bercengkrama melalui pesan singkat tak dapat memudarkan rasa rindu padamu yang kian hari kian memuncak. Dan semakin lama, perasaan yang menggila ini malah membuatku berpikir, apakah tindakanku ini benar? Apakah tindakanku tetap menghubungimu di belakang Ibu, dan membiarkanmu seolah terikat denganku yang jauh darimu ini benar?
Walau alasanku masih tampak buram, aku akhirnya memilih. Memilih untuk benar-benar menghilang dari kehidupanmu. Memilih untuk mengusirmu jauh-jauh dari pandangan hatiku.
Kau berkata, mengapa perpisahan yang teramat pahit ini terjadi begitu lekas.
Aku tidak tahu, kataku. Namun, mungkin, beginilah seharusnya. Kau harus bisa menerima, aku pun telah dengan berat hati memutuskan. Kau bisa mencintai gadis lain jika mau. Tetapi kau menolak. Kau bersikeras menginginkan aku, seperti aku yang bersikeras memaksakan hati agar perpisahan ini terjadi. Kau tahu, jika saja aku punya keberanian mengucapkan hal itu, aku akan berkata kepadamu, Aku pun menginginkanmu. Tetapi aku tak bisa. Aku tersadar, kita terlampau jauh untuk bersama. Kasih kita lahir hanya untuk sebuah sementara.*
Maka, selamat tinggal dan terima kasih. Aku akan merindukanmu.
Karena banyak hal indah memang hanya berlangsung sementara.
Seperti kebersamaan kita.
ps: *paragraf ini diadaptasi dari cuplikan cerpen Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari oleh Bernard Batubara dalam buku kumpulan cerpen Milana (Gramedia Pustaka Utama 2013).
No comments:
Post a Comment